Oleh Emha
Ainun Nadjib
Malam Sabtu 19 April
1996 yang lalu penyair Rendra membacakan sajak-sajaknya di Yogyakarta,
bekas kota budaya yang sebenarnya tak bisa dipisahkan dari perkembangan
dan kebesaran Rendra sebagai seniman.
Fakultas Sastra UGM yang merasa
ikut memiliki alumnusnya ini, dengan penuh gairah menyelenggarakan ''malam
nostalgia'' di gedung pertemuan baru universitas tertua, bekerja sama dengan
majalah Gatra.
Kelompok Gamelan Kiai Kanjeng
yang hari-hari ini sedang sibuk mempersiapkan pementasan haji dalam rangka
Idul Adha bersama koreografer tari Wiwiek Sipala, artis Ita Purnamasari,
Gito Rollies, Novia Kolopaking, Dewi Gita, serta aktor Amak Baljun dan
Amaroso Katamsi di Jakarta Convention Center 29 April nanti, semula menolak
ketika diminta untuk tampil mengawali pementasan Rendra. Mereka takut tidak
mampu menata mentalnya, karena enerji yang dibutuhkan untuk itu dikhawatirkan
akan mengganggu irama pelatihan mereka menjelang pementasan di Ibukota.
Tapi akhirnya Alhamdulillah
mereka bisa ikut tampil untuk menghormati Rendra dan keseriusan Fakultas
Sastra. Sebagai orang tua saya coba katakan kepada mereka dua alasan kenapa
sebaiknya menerima permintaan itu.
Pertama, justru untuk melanyahkan
ketrampilan mereka sebelum tampil di Jakarta. Kedua, kita sangat perlu
nyengkuyungdan mikul dhuwur sesepuh kesenian yang bernama
Rendra. Ini masalah keindahan hubungan antarmanusia saja, dan tak usah
peduli malam itu apakah di muka bumi ini ada yang bernama politik atau
tidak, apakah nanti Pemilu 1997 akan terjadi atau tidak, serta apa pun
saja yang lain, termasuk seandainya malam itu Pulau Jawa tenggelam ditelan
bumi.
***
Saya sangat bahagia
menyaksikan pentas Rendra dan Kanjeng malam itu, meskipun saya harus bertarung
keras melawan napsu saya sendiri. Melihat Rendra berindah-indah dengan
penontonnya, saya merasa gatal juga. Sudah sangat lama saya sendiri tidak
pentas di Yogya dan selalu punya perasaan menolak pentas di kota sendiri,
berhubung sejumlah keprihatinan yang menyedihkan.
Rendra ''kenduri'' selama
dua jam setengah dengan tangkas, canggih, enerjik, serta dengan stamina
yang luar biasa. Penonton berapa ribu pun adalah ''makanan empuk'' jika
seorang penampil telah mengenali hati mereka. Apa yang kita ucapkan di
panggung sesungguhnya adalah apa yang mereka ucapkan di hati mereka.
Ketergodaan saya ada segi
negatifnya, yakni karena saya masih dianggap penyair oleh kebanyakan orang.
Kalau saya penyair, maka ada rasa bersaing dengan penyair lain. Dan itu
selalu menyedihkan hati saya, sebab saya tahu saya pasti kalah.
Oleh karena itu saya dera
diri saya untuk tetap kembali pada penyikapan semula, bahwa saya sekedar
kebetulan pernah menulis sesuatu yang terkadang mungkin dianggap sebagai
karya puisi. Kalimat-kalimat yang seolah-olah puisi itu juga ribuan kali
saya bacakan di depan berbagai jenis audiens, dan sialnya mereka banyak
yang percaya bahwa yang saya bawakan itu adalah puisi.
Adapun sesungguhnya saya bukanlah
seorang penyair. Apalagi penyair yang berbakat. Kalau suatu saat kebetulan
saya menbaca karya yang seakan-akan puisi itu, semata-mata karena keperluan
sosial yang luas, yang sama sekali tidak dapat dibatasi oleh kriterium
apapun dari dunia kesenian dan sama sekali kegiatan itu saya usir dari
urusan yang bernama ''karir kepenyairan.'' Bahkan bidang seni lain yang
pernah saya geluti misalnya teater, juga bukan suatu yang menyangkut bakat
saya, melainkan karena hobi menemani teman-teman bertumbuh. Sangat benar
Putu Wijaya yang pernah mengatakan bahwa seandainya dia membuat daftar
sepuluh teaterawan Indonesia, maka yang bisa dipastikan adalah bahwa nama
Emha tidak termasuk di dalamnya.
Keyakinan tentang kerendahdirian
itulah yang saya terapkan tatkala menemani teman-teman Kiai Kanjeng. Diputuskan
bahwa paling jauh saya akan tampil di panggung selama dua menit. Untuk
membacakan kalimat Rendra ''Langit di luar....'' serta melantunkan
satu ayat Allah SWT, di ujung rangkaian musik. Dengan itu saya berharap
masyarakat mengetahui bahwa saya bukanlah orang yang bisa diharapkan dalam
hal kesenian, apalagi untuk dibarengkan dengan seorang Rendra.
Dengan kesadaran itu Alhamdulillah
akhirnya saya bisa menyaksikan pentas Rendra dengan hati tenteram sebagai
manusia biasa sebagaimana penonton lainnya.
***
Semalaman sebelum pementasan
saya begadang dengan Rendra. Ia sedang sakit, badannya agak membengkak
bukan karena sesuatu yang bersifat fisik. Kami membicarakan konsep ikhlas,
judul sebuah surat dalam Alquran yang kata itu sendiri tidak terdapat di
dalamnya. Kami berdialog tentang dialektika antara takabur dan keputusasaan.
Tentang otak bagian intelek yang tidak memiliki hubungan urat syaraf dengan
hati, usus, lambung dsb, sehingga tingkat kepintaran tidak pasti mempengaruhi
perkembangan kebaikhatian atau moralitas, serta kesarjanaan seseorang tidak
relevan terhadap pengendalian napsu perut.
Kami merenungi metoda walyatalaththaf
titik tengah Alquran, dan tentu saja dangan wirid Ya Lathif bagi
siapa saja yang dirinya penuh gumpalan, egoisme, egosentrisme, keangkuhan,
baik yang transparan maupun yang tersamar. Dengan demikian juga tentang
Ashabul Kahfi yang ''mata uang''nya diupayakan laku tatkala dibawa
ke pasar, dan untuk itu ia harus berlaku lemah lembut -- karena ''pasar''
di hadapanmu merupakan campuran antara pasar masa silam dan pasar
masa datang yang wajib engkau kini-kan.
Maka betapa bahagia hati saya
tatkala menyaksikan Rendra tampil begitu prima estetikanya, namun rendah
hati kejiwaannya.
*** Saya menangkap sinyal-sinyal
yang masih samar bahwa apa yang terjadi malam itu, dengan Rendra maupun
penonton, merupakan semacam gelagat sejarah -- bahwa masyarakat kita saat
ini pelan-pelan sedang melepaskan diri dari tahap atmosfir kesejahteraan.
Malam itu ada satu kelompok
mahasiswa yang mendemontrasi Rendra, Gatra maupun Fakultas Satra. Itu bagus
karena -- dengan segala jenis prosesnya yang masih terbata-bata dan belum
terbentuk -- tradisi demokrasi semakin semarak. Argumentasi di balik demo-demo
itu ada yang sedikit ideologis, ada yang berangkat dari visi stuktural,
juga ada yang sekedar karena tak kebagian tiket. Namun harus diakui masih
belum menunjukkan kematangan berfikir dan berargumentasi. Dan ini juga
tidak salah. Mahasiswa-mahasiswa kita yang penuh semangat pembebasan dan
demokratisasi itu janganlah ditakar seolah-olah mereka adalah intelektual
mumpuni atau negarawan yang dewasa.
Suasana keakraban dan semangat
komunikasi antara penonton dan Rendra malam itu, belum bisa terjadi tahun
kemarin. Tampaknya masyarakat kita sudah kembali ''menyerah'' pada kerinduan
untuk berada kembali dalam silaturahmi-silahturahmi kemanusiaan, perjumpaan-perjumpaan
budaya dan rohani -- yang malam itu benar-benar terlampiaskan.
Mungkin asal usul kerinduan
itu adalah karena peta struktural permasalahan bangsa kita sudah terlalu
kompleks. Ketersentuhan setiap orang, setiap kelompok atau setiap pihak
dengan kekuasaan, dengan ke-makruh-an modal-modal ekonomi, dengan
kemungkinan-kemungkinan yang dengan gampang bisa dianggap kolusi, dlsb
-- hampir tak bisa dibatasi lagi. Ibarat bangsa ini sedang berenang di
lautan najis, maka hampir tak seorang pun yang benar-benar steril dari
kenajisan.
Serombongan mahasiswa menyesalkan
kenapa Fakultas Satra mau menerima sumbangan dari Gatra yang mereka anggap
sebagai ''tangan panjang rezim'' -- sambil lupa bahwa Universitas Gadjah
Mada tempat mereka kuliah adalah universitas negeri dan dosen-dosennya
adalah anggota Golkar.
|