Oleh Emha
Ainun Nadjib
Menjelang sore hari
Selasa yang lalu, bersama dua orang teman saya dolan ke Kebun Jeruk Jakarta
Barat. Tapi yang akan kami temui, tidak ada.
Salah seorang ustadz mengatakan
bahwa beliau sedang pergi ke Kediri, Jawa Timur, kemudian terus ke Lombok.
Kami tentu saja menyesal,
karena dua tiga kali ketika saya pernah ke sini dulu; selalu saya bisa
makan enak dan sebanyak-banyaknya, tanpa harus pekewuh atau menjalani
'syariat budaya' macam-macam.
Saya tergolong amat susah
makan, sehingga usus dan organ tubuh saya yang lain banyak menganggur.
Jadi awet, tak gampang aus. Kalau seandainya hidup ini bisa dijalani dengan
hanya makan seminggu sekali, betapa besar syukur saya kepada Tuhan. Dalam
situasi normal, saya mau makan hanya berdasar rasa lapar yang memuncak,
berdasar suasana hati dan berlangsungnya persahabatan dengan entah siapa
yang makan bareng dengan saya.
Tapi 'gimana. Kita ini sejenis
'hewan', meskipun bukan pemamah biak, tapi pemamah segala jenis makanan,
bahkan sudah berkembang menjadi pemamah proyek, pemamah sahabat sendiri,
pemamah aib orang lain, dan lain sebagainya.
Kita ini kanibal-kanibal yang
lebih nikmat memberitakan dan mempergunjingkan keburukan orang, daripada
mengiklankan kebaikan dan kemuliaan. Teman kita memberikan 90% penghasilannya
kepada kepentingan sosial, kita tak acuh saja; nanti sekali dia buang angin
sampai bunyi di tengah rakaat salat -- kita rasani dia habis-habisan.
***
Karena beliau tak ada,
saya ninggali surat. Tak ada kata-kata di kertas itu kecuali, pertama,
la ilaha illa anta, subhanaka inni kuntu minadhdholimin. Kedua,
innama asyku batstsi wa huzni ilallah. Dan ketiga, wa la ya-uduhu
hifdhuhuma wahuwal'aliyyul 'adhim.
Kalimat yang pertama itu tradisi
dan 'hobi' ndreming saya sehari-hari: Tidak ada Tuhan selain Engkau,
Mahasuci Engkau, dan sesungguhnya aku tergolong di antara orang-orang yang
dhalim.
Di pengajian kebangsaan Padhang
Mbulan, itu merupakan ucapan 'wajib', dan terlebih-lebih lagi bagi diri
saya sendiri. Indonesia Raya ini negara dan bangsanya suci murni, sementara
saya bergelimang dosa, belepotan kotoran.
Berbuat baik, bisa menjadi
keburukan dan bahaya bagi orang lain. Bekerja dan berkarya, bisa hanya
memproduk kedengkian dan kianat pada orang lain.
Beramal, bersedekah, bisa
malah membuat saya menjadi budak orang lain.
Jadi pengakuan kedhaliman
diri di hadapan Allah adalah jalan terbaik agar Allah tetap sayang kepada
saya dan tetap mempercayai saya untuk menjalankan tugas hidup tertentu,
meskipun kecil-kecilan dan tak besar manfaatnya bagi masyarakat.
Kalimat kedua adalah 'lagu
tangis' saya sehari-hari juga. Sambil bengong di kendaraan, sambil memejamkan
mata di tengah keramaian, sambil tengkurap di kamar -- saya sangat senang
mbrebes mili, menerembeskan airmata dan bersentimentilria kepadaNya:
Hanya kepadaMu kuadukan segala beban, duka derita dan kesunyian hidupku....
Kalimat yang ketiga adalah
penumpahan kepercayaan bahwa Ia maha memelihara langit dan bumi. Biasanya
kalau baca ayat Kursi, bagian yang itu saya ulang sembilan (9) kali. Baik
buruk hidupku kulaporkan kepadaNya untuk diadili. Engkau adalah penghuni
bumi dan langit yang dijaga olehNya, dan karena itu engkau borgol tangan
eksistensimu di hadapan kuasaNya. Allah merawat keseimbangan langit bumi,
dan sepenuhnya terserah Ia jika seandainya demi keseimbangan sunnah-Nya
itu engkau harus disuguhkan sebagai makanan yo jin yo setan yo demit,
yo periprayangan yo druhun dimemonon lengeng ya kodim koramil, yo polsek
yo aktivis, yo cangkem trocoh yo koran yo tabloid... engkau rela, engkau
Islam, engkau ikhlas.
Itu semua akan memerdekakanmu,
dan engkau gagah dalam kemerdekaan sunnah-Nya itu.
***
Di tayangan televisi,
terkadang kita menyaksikan Pak Polisi sedang memusnahkan botol-botol bir
dari agen penjual tertentu. Apakah karena bir haram dan merusak manusia?
Apakah semua bir dan minuman keras dimusnahkan? Tidak. Negara tidak mengikatkan
diri pada halal haram, tetapi oknum-oknum bisa mengikatkan diri pada distribusi
upeti. Bir yang dimusnahkan biasanya dimiliki oleh pihak yang ada soal
dengan upeti.
Upeti, kalau hubungannya dengan
barang jualan, tentu bersifat ekonomis.
Tapi ada juga, misalnya, upeti
politik yang berupa jumlah suara.
Ada satu dua koruptor diadili
dan dihukum. Adakah karena pemerintah dan kita semua pantang korupsi? Dan
apakah siapa saja yang melakukan korupsi akan memperoleh perlakuan yang
sama? Tidak. Masalahnya, bisa upeti itu.
Bisa juga, demi supaya 'keseimbangan'
tetap bisa dijaga, diperlukan seekor kambing hitam.
|