Oleh Emha
Ainun Nadjib
Setelah pada suatu malam
saya merenung-renung, terasa betapa saya adalah seorang yang suka cari
perkara dan sok.
Misalnya, Quran tidak mewajibkan
saya secara eksplisit agar menjadi seniman, tapi toh banyak saya tulis
karya-karya yang saya sangka karya seni. Sekarang sesudah merasakan kengerian
berada di tengah atmosfir jagat kesenian dan 'bau harum' sukubangsa seniman
-- saya jadi nyahok sendiri.
Tidak ada firman yang memerintahkan
secara gamblang agar makhluk macam saya menjadi cendekiawan, kyai, pekerja
sosial, pelawak, pengembara atas bawah kiri kanan, pembangun gedung-gedung
sekolahan atau menjadi dukun. Tapi toh saya rewangi sangat-sangat-sangat
kurang tidur terus menerus demi meladeni masyarakat yang menodong saya
untuk melakukan hal-hal sebagaimana yang dilakukan oleh jenis-jenis fungsionaris
sejarah macam itu.
Jika malam berangkat ke lubuk
kesunyiannya, sepenuhnya saya berhak tidur, namun tak pernah tengah malam
dan dinihari saya lewati dengan tidur. Saya bukan pegawai atau karyawan
siapa pun, tapi toh dengan tolol saya telan jam kerja siang malam. Saya
berhak punya weekend dan duduk berjongkok di tepi pantai atau di
dalam kuburan kapan saja saya mau, tapi toh tak pernah ada jadwal rekreasi
dalam hidup saya.
Kemudian dengan tolol saya
meladeni hak otak saya untuk kritis dan gelisah ketika berjumpa dengan
banyak hal nggak bener di negeri ini. Dengan dungu saya menuruti
hak sensitivitas perasaan saya yang cengeng dan suka nangis kalau merasakan
bau hawa kemunafikan, ketidakadilan, ketamakan dan kedengkian umat manusia.
Serta dengan bodoh dan naif saya mengakomodasikan cita-cita ruh
saya yang muluk-muluk.
Misalnya si ruh suci (di kandungan
badan saya yang kotor) menangisi retak-retak sejarah yang dialami
terus menerus oleh -- satu contoh saja -- Umat Islam. Tak usah saya sebut-sebut
juga hal PDI, YLBHI, Islam-Kristen, ABRI merah-putih ABRI hijau atau segala
tetek bengek lainnya.
Si ruh pusing kepala (pinjam
kepala badan saya) tiap saat mendengar orang Islam saling terlalu tak paham
satu sama lain. Tokoh-tokoh Islam, ya! bahkan tokoh-tokoh Islam: bengkerengan
dan ngrasani satu sama lain seperti anak kecil. Ngrasani,
mengkambinghitamkan, ber-su-udhdhon, terkadang memfitnah, tak cukup
di warung kopi, tapi juga terang-terangan di forum umum atau majlis Kaum
Muslimin sendiri.
Lebih asyik lagi karena Kaum
Muslimin selalu bersorak dan tertawa riuh rendah. Majlis mereka sesungguhnya
adalah majlis tontonan dengan kerinduan terhadap hiburan dan lawakan. Kanibalisme
psikologis yang berlaku massal menjadi mainstream budaya komunikasi
mereka, antara lain berkat didikan media massa yang tiap hari isinya juga
kurang lebih merupakan tool of rerasanan yang setiap satu kalimatnya
selalu butuh seribu tabayyun.
Si ruh meyakinkan saya bahwa
semua retak dan pertengkaran itu sesungguhnya bertemakan hal-hal yang sekunder.
Bisa soal beda pendapat soal bagaimana Islam dan politik, bisa soal sakit
hati dari riwayat sejarah lama di kalangan Muslim sendiri, bisa soal jatah
naik haji dan bantuan gedung pesantren, bisa soal jatah kursi di dewan
perwakilan atau kabinet, atau tema yang lebih sepele lagi dari itu.
Maka si ruh menyuruh saya
agar menemui dua raksasa, dan saya temui. Masing-masing raksasa itu memimpin
puluhan juta orang dan menjadi pangkal garis simbolik dari berbagai realitas
friksi dan multi-retakan yang selama ini terjadi.
Perintahnya kepada saya adalah
agar bisa membawa mereka ke satu forum: tidak untuk berdebat atau saling
menyindir dan mengejek satu sama lain sehingga hadirin merasa terhibur.
Melainkan agar mereka mengemukakan hal yang sama, yakni apa yang sesungguhnya
primer, yang fardlu 'ain bagi Kaum Muslimin yang kebanyakan
miskin, tergencet dan marginal ini -- untuk dilakukan dalam melayani tantangan
sejarah yang semakin dahsyat dan ruwet ini. Kemudian mereka mengikrarkan
tekad yang sama dalam perspektif keumatan, bukan dengan keberangkatan golongan.
Dan masyaallah alhamdulillah
beliau berdua kok ya bersedia dan menjamin kesepakatan tentang fardlu
'ain itu. Acaranya 19 Mei 1996 di Yogya. Ini akan merupakan sejarah
baru. Sebelumnya mereka belum pernah duduk di satu forum, apalagi untuk
mengikrarkan tekad yang sama, dalam posisi tidak sebagai engkau dan
aku atau apalagi kami dan mereka, melainkan sebagai kita.
Tapi ternyata apa yang akan
terjadi itu keliru, setidaknya menurut buto-buto lain yang mendampingi
saya dan yang juga berasal dari kahyangan Kaum Muslimin sendiri.
Pola pikir pemberdayaan
umat itu primordialisme. Kalau mau memberdayakan ya harus seluruh bangsa.
Kalau ngumpulin duit nanti yang dikasih bantuan jangan hanya buruh atau
pedagang yang beragama Islam, tapi harus adil.
Saya coba jawab: ''Lha
habisnya kita diprimordiali melulu di segala bidang. Kita dikalahkan terus,
jadinya ya berpikir dan bekerja untuk kapan-kapan bisa menang...''.
Saya dibentak: ''Subyek berpikirmu jangan Umat Islam, tapi bangsa Indonesia,
maka tak ada kalah menang itu!'' Bahkan saya dicuci habis karena pernah
menyatakan ''Islam Yes, Partai Islam Yes''. Itu primitif, membalikkan jarum
jam format sejarah politik Indonesia, dan membikin takut banyak orang non-Islam.
Saya memang hanya bisa berpikir sebagai manusia biasa yang awam. Kalau
Partai Islam Yes, itu berarti Partai Kristen atau Partai Budha ya Yes.
Parameter boleh tidaknya dan baik tidaknya hanya satu: menyelenggarakan
kebenaran dan kasih sayang kerakyatan atau tidak.
Saya juga coba berpikir tidak
legal-formal sebagaimana yang mereka anjurkan: kalau saya sebut Partai
Islam itu tidak harus ada partai yang legal-formalnya Islam. Boleh bernama
Partai Jaran, asalkan substansi programnya mengutamakan keadilan, kemashlahatan
kebangsaan dan penyebaran rahmatan lil'alamin. Dengan kata lain,
PDI, Golkar, PPP atau apapun pada konteks dan ruang waktu tertentu bisa
memiliki substansi partai Islam. Bagi saya lembaga sejarah itu kata
kerja, bukan kata benda.
Tapi rupanya para buto
yang naik pitam itu sangat berpikir simbolik dan legal formal. Kalau telinganya
mendengar Partai Islam, assosiasinya adalah sebuah partai yang memakai
nama Islam dan mengangkut fiqih ke dalam KUHP dan Undang-Undang Negara.
Lha ya, saya renung-renungkan
saya ini ngapain ngurusin tetek bengek semacam itu. Lha wong Tuhan
ndak pernah omong tentang negara. Padahal ya negara itu contoh paling
tajam dan kejam dari primordialisme sejarah. Semua retakan dan pertengkaran
itu karena adanya negara.
Tapi saya hidup dalam negara.
Dan saya akan coba penuhi itu: Islam bukan hanya jangan dijadikan identitas
dan acuan utama dalam kerja politik, kepartaian dan kenegaraan. Itu tidak
cukup. Selama ini organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ngakunya non-politis
toh juga mekanismenya selalu overlapping ke politik. Jadi sebaiknya
kita juga menyatakan ''Islam Yes, Partai Islam No, Ormas Islam No''.
Hanya pada level individu saja Islam boleh jadi identitas utama.
Maka saya akan berekspresimen
untuk menolak tidak sekedar (yang katanya) primordialisme Islam dalam politik,
tapi juga segala primordialisme di tingkat sosial dan kultural. NU, Muhammadiyah,
PMII, Anshor, Pemuda Muhammadiyah dan lain sebagainya itu hanya akan saya
pikirkan kemungkinannya untuk bubar. Meskipun mereka ngakunya tidak berpolitik,
tapi itu potensial untuk membuat kaum non-Islam menjadi takut.
Dan kalau saya selenggarakan
betul acara 19 Mei 1996 itu, yang secara romantik menginginkan orang
Islam bisa kompak, maka hasilnya adalah juga ketakutan orang non-Islam,
sebab hal itu akan menyempurnakan format primordialisme keumatan Kaum Mislimin.
Maka insyaallah saya pertimbangkan untuk batal.
Saya sedang menunggu izin
untuk menembak bola alam semesta dari sudut yang sama sekali berbeda.
|