Oleh Emha
Ainun Nadjib
Hari-hari ini adalah
hari 'H' di mana rombongan-rombongan awal jamaah calon haji kita mulai
bersiap berangkat.
Ini adalah sebuah keindahan.
Kita mengayubagya mereka semua. Kita semua Umat Islam bagaikan sedang berada
di menit-menit yang penuh rasa penasaran.
Sesaat lagi lagu-lagu rindu
keilahian akan terdengar. Lantunan suara talbiyah cinta akan bangkit dari
seluruh permukaan bumi, bagai beribu gugusan cahaya yang bangkit tegak
lurus ke langit.
Gunung-gunung, hutan belantara
dan kebun-kebun, angin, dedaunan, akan menari-nari. Dan langit menyiapkan
spiritual receiver-nya yang terjernih. Ribuan malaikat Allah akan
mengangkut di pundak-pundak mereka lagu-lagu jawaban para hamba Allah atas
panggilan cinta, untuk dihamparkan dan ditata di halaman rumah sejati Allah
nun jauh di arasy laisa kamitslihi syai-un. Ah, betapa bahagianya
mereka yang kini mulai berbondong-bondong ke Baitullah. Mereka bukan saja
akan menciumi hajar Aswad, mengitari Ka'bah dalam emosi cinta yang meluap-luap.
Mereka bukan saja akan berjajar memenuhi Masjidil Haram -- tapi juga siap
berjamaah salat dengan semua Nabi dan Rasul, segenap Aulia, Jin-jin mukmin-muslim,
bahkan dengan debu-debu dan kehangatan matahari yang semuanya itu bertasbih.
Ya Allah... dan Rasulullah
Muhammad SAW yang amat amat amat kita cintai, berdiri sebagai Imam salat
kita semua! Kita yang tertinggal di tanah air siap menangis. Siap meneteskan
airmata, dengan rasa cemburu.
***
Menurut sebuah berita keislaman
lama, terdapat sebuah interpretasi yang mengidentifikasikan ibadah haji
dengan lambang air madu. Besertaan dengan ini salat dilambangkan oleh air
hujan yang pangkal dan ujung maknanya adalah pencahayaan. Puasa disimbolkan
oleh khamar yang mengempasiskan proses peragian rohani atau sublimasi kepribadian.
Sementara zakat dimetaforkan oleh air susu yang inti kearifannya adalah
keberbagian atau kesediaan berbagi.
Haji madu! Haji madu! Saudara-saudara
kita yang pergi memenuhi panggilan cinta itu berangkat memproses pencapaian
kualitas madu bagi kepribadiannya. Nanti kalau mereka kembali ke tengah
kita, maka siap-siaplah mendengarkan betapa setiap ucapannya akan bermutu
bagai madu. Setiap perilakunya, setiap gerak geriknya, setiap keputusan
dan sikap sosialnya -- baik dalam pergaulan kesehariannya maupun dalam
keterlibatan kolektifnya pada sistem-sistem sosial -- akan memancarkan
kualitas madu.
Seandainya seorang Muslim
sekadar sampai pada taraf syahadat saja pun -- berkat ikrarnya atas Allah
dan Rasulullah -- pun mestinya ia akan tak mungkin menyakiti kita. Tak
mungkin mendustai kita, menggusur nasib kita, mengakali kebodohan kita,
menindas kelemahan kita.
Apalagi jika hamba Allah itu
telah pula melakukan salat. Orang yang sudah mengangkat tangan dan mengucapkan
'Allahu Akbar' di awal salat, mana mungkin punya sifat egosentris, mana
mungkin memusatkan kehidupan ini pada kepentingan sendiri, pada kemapanan
kekuasaannya sendiri, atau pada pamrih keuntungan ekonominya sendiri.
Orang yang ketika melakukan
salat dan bersujud atau berpose menyerupai binatang berkaki empat dan mengucapkan
''Maha Suci Allah yang Maha Tinggi'' dalam kedudukan sebagai 'aku' atau
individual (: robbiya); atau ketika beruku' bagaikan kanguru menunduk dan
juga dalam posisi sebagai 'aku' atau individual; lantas ketika berdiri
bersedekap mengucapkan ''hanya kepadamu kami menyembah...'' atau memposisikan
dirinya tidak sebagai individu melainkan sebagai 'kebersamaan sosial' --
mana mungkin terlibat dalam ketidakadilan, otoritarianisme, fasisme, korupsi,
manipulasi atau monopoli.
Kalau sudah melakukan salat
tapi tetap mengerjakan hal-hal itu, maka tentu mereka adalah alladzina
hum 'an sholatihim sahun -- orang-orang yang memperlakukan salatnya
dengan kelalaian dan pelecehan -- sehingga neraka Wail yang dijanjikan
oleh Allah atas mereka. Sebab yang mereka produksi di muka bumi adalah
neraka-neraka kecil, perusakan dan penghancuran atas wajib bareng-barengnya
kesejahteraan bagaimana yang diamanatkan oleh Allah SWT.
***
Jadi betapa indahnya perilaku,
ucapan, peran, sosial dan mutu integritas orang yang telah naik haji.
Tapi kalau ternyata tidak
demikian -- menangislah. Kalau ternyata di sekitarmu bahkan ada haji-haji
racun, berlindunglah kepada Allah SWT.
Bermacam-macam dorongan yang
membuat orang-orang pergi haji. Ada yang karena kerinduan bertahun-tahun.
Ada yang memang benar-benar karena ingin mematangkan dan menyempurnakan
kemuslimannya. Ada juga yang kebetulan dapat jatah. Ada yang biaya naik
haji baginya sama dengan makan malam beberapa kali, sehingga pergi ke Mekkah
itu tidak istimewa, dan ketika merancangnya seakan-akan ia akan berpariwisata.
Atau mungkin ada yang buntu
hidupnya, dipenjarakan ia oleh problem-problem, sehingga ia yakini hanya
di Baitullah segala sesuatunya bisa dibereskan.
Seorang kawan hendak naik
haji dengan perasaan bahwa bukan tidak mungkin ia tak akan pernah kembali
ke tanah air. Ia mintai saya menemaninya pada minggu-minggu menjelang berangkat.
Ia bereskan semua hutangnya, ia beredar minta maaf kepada siapa saja yang
ia pernah melakukan kesalahan. Ia jaga perilakunya sebaik mungkin dan ia
hindarkan dari dosa sekecil apapun.
Tapi ada juga seorang kawan
lain yang mengeluh kepada saya betapa calon istrinya mengisi hidupnya pada
bulan-bulan menjelang naik haji dengan cara yang sangat aneh.
''Hampir setiap hari ia menyakiti
saya,'' katanya, ''ia selalu menuntut kejujuran saya tapi ia sendiri mempersembahkan
kepada saya dusta, kebohongan, pengingkaran janji, siksaan, kekejaman.
Jangankan memperlakukan saya sebagai calon suami yang ia janjikan dengan
berbagai komitmen; sedangkan memperlakukan saya sebagai manusia -- nguwongke
-- saja ia hampir tak lakukan. Saya bukan membesar-besarkan: ia benar-benar
secara sangat ekstrem melakukan hal itu dari jam ke jam. Ia seperti sedang
dikuasai entah oleh setan atau jin apa. Bahkan terakhir saya menjumpai
-- maaf -- gambar buka aurat dia, dan entah siapa yang memfotonya. Saya
boleh menangis, 'kan, meskipun saya laki-laki? Juga saya sama sekali tidak
mengerti bagaimana mungkin ia menghimpun kelaliman itu menjelang pertemuan
agungnya dengan Allah? Apakah saya akan tidak mensupport keberangkatannya
naik haji?''
Saya merasa tidak mampu meneruskan
tulisan ini, sebagaimana saya juga merasa tidak sanggup memberikan jawaban
atau saran apapun kepada teman kita ini.
Tapi saya mencobanya. ''Mungkin
Allah menawarimu kemuliaan tingkat tinggi. Di puncak sakit hatimu dan hancurnya
harga dirimu, engkau ditantang untuk sanggup memanfaatkannya, karena hanya
jika engkau memaafkannya maka Allah akan juga mengampuninya. Memaafkan
adalah satu-satunya jalan: bukankah engkau sangat mencintainya?''
''Ya,'' jawab kawan ini, dengan
nada ragu.
''Islam mengenalkan kepada
kita konsep husnul khathimah, akhir yang baik. Mudah-mudahan ia
memang sedang terserap oleh puncak kegelapan hidupnya, semoga pula Allah
nanti membenturnya, kemudian menganugerahinya hidayah dan cahaya.''
''Tapi bagaimana kalau Allah
ternyata membiarkannya?'' ia tampak sangat cemas, ''di tanah suci ia tak
mengalami apa-apa, nanti pulang juga tidak berubah apa-apa?''
''Satu-satunya jalan yang
bisa engkau tempuh adalah tidak ber-su-udhdhon atau bersangka buruk kepada
Allah. Bukankah yang terindah dalam hidup ini adalah kebesaran jiwa untuk
disakiti oleh kegelapan, kemudian memohonkan kepada Allah perkenan untuk
mengubahnya menjadi cahaya?''....
Ah, teori! Tampaknya aku sendiri
seandainya itu semua benar tak mampu menyangga pengalaman semacam itu.
Haji racun. Tapi tak mungkin haji itu meracuni. Tidak. Bukankah Mike Tyson
memperkosa, untuk beberapa tahun kemudian bersujud syukur di hadapan ratusan
juta penonton?
|