Oleh Emha
Ainun Nadjib
Kali ini saya menulis
tentang sejumlah kelemahan pribadi saya. Ini saya pandang perlu, karena
prinsip kebersamaan hidup di antara manusia adalah keharusan untuk saling
menyelamatkan. Dan dengan mengungkapkan kelemahan pribadi saya ini, saya
berharap orang memahaminya kemudian menghindarkan dirinya masing-masing
dari keadaan seperti yang ada pada saya. Kalau tak saya ungkapkan, maka
saya bisa akan menjerumuskan.
Kalau dipikir-pikir, saya
ini tidak tergolong pribadi yang mandiri. Saya tidak termasuk manusia modern
yang merdeka, yang independen dan profesional, yang bergerak karena ingin
bergerak, yang melakukan sesuatu karena sadar untuk memilih sesuatu itu
dan mengerti segala sesuatunya, termasuk risikonya.
Sangat banyak hal telah dan
sedang saya lakukan, namun sangat sedikit di antara hal-hal itu yang memang
benar-benar merupakan keinginan saya, konsep saya, target saya atau buah
kemerdekaan pribadi saya. Kecuali yang menyangkut jenis pakaian, selera
makan atau hal-hal kecil lain, saya lihat-lihat kok sebenarnya bukan aktualisasi
dari kemerdekaan pribadi saya.
Bidang-bidang pekerjaan yang
saya lakukan yang berkaitan dengan masalah sosial masyarakat, politik,
keagamaan, pemberdayaan ekonomi atau kesenian -- yang selama ini menghabiskan
hampir semua waktu dan tenaga saya -- rasa-rasanya kok pada umumnya bukan
wujud inisiatif saya sendiri.
Ternyata saya ini seorang
budak. Seorang pesuruh. Seorang pekerja pesanan.
Seorang khadim yang hampir
tidak memiliki kebebasan pribadi.
Misalnya saya banyak menulis
sesuatu kemudian akhirnya terbit menjadi berpuluh-puluh buku -- saya lihat-lihat
itu sesungguhnya adalah pekerjaan suruhan. Mungkin saja yang menyuruh adalah
Tuhan, karena memang Dia yang menciptakan saya dan hanya Dia satu-satunya
yang berhak menyuruh saya.
Tapi kalau saya bilang bahwa
semua yang saya kerjakan ini adalah atas suruhan atau perintah Tuhan, tentu
saya jadi tampak mbagusi dan berlagak seperti Nabi atau Rasul. Jadi
kita katakan saja yang menyuruh saya mungkin adalah teman-teman saya, mungkin
satu dua koran dan majalah, mungkin sejumlah orang, mungkin sebagian masyarakat
-- melalui ratusan surat-surat yang mengeluhkan berbagai problem.
Misalkan Anda menampung anak-anak
muda untuk Anda bikinkan badan usaha sehingga mereka bisa cari nafkah.
Misalkan Anda mendirikan gedung-gedung sekolah dan pesantren, menampung
anak-anak yatim, membuat yayasan-yayasan pemberdayaan, atau mungkin juga
mini-bank tanpa bunga untuk tetangga-tetangga sekitar, termasuk bikin pengajian
dengan belasan ribu jamaah, dan lain sebagainya. Saya yakin Anda lakukan
itu karena kesadaran Anda atas prinsip-prinsip moral dan pemahaman Anda
mengenai banyaknya anggota masyarakat yang memerlukan hal-hal semacam itu.
Tapi kalau saya yang mendirikan
upaya-upaya seperti itu, ternyata bukan karena kemerdekaan pribadi saya,
melainkan karena saya disuruh. Saya mungkin suatu jenis makhluk yang lahir
ke dunia untuk tidur, meskipun kemudian terpaksa jarang dan sangat sedikit
tidur karena disuruh orang lain untuk melakukan hal-hal yang ia sendiri
tak pernah menginginkannya.
Barusan saya menyelesaikan
71 halaman naskah drama untuk ''Gelar Budaya Rakyat'' dalam rangka ulangtahun
Jumenengan Sri Sultan Hamengkubuwono X yang bertemakan ''Pemimpin itu Harus
Bagaimana''. Ketika pekerjaan itu saya selesaikan, saya baru sadar bahwa
saya benar-benar orang suruhan.
Saya disuruh menulis naskah
oleh para pemain drama yang berkumpul, karena memang hampir mustahil mereka
temukan orang lain yang bisa disuruh seperti saya.
Itupun saya menulis tidak
dengan kemerdekaan. Temanya sudah ada terlebih dulu. Semua alur, adegan
dan dialognya tidak bebas saya tuliskan, melainkan harus saya sesuaikan
dengan jumlah pemain, kapasitas mereka yang berbeda-beda, serta berbagai
kemungkinan artistik yang berpedoman pada komposisi para pemain dan sutradara
yang ada. Jadi saya sama sekali bukan penulis yang merdeka.
Dan tatkala kemudian saya
lihat-lihat apa yang saya kerjakan selama hidup saya, umpamanya dalam hal
yang bersentuhan dengan dunia kesenian -- ternyata memang sama sekali bukan
hasil kemerdekaan pribadi saya. Bukan kreativitas murni saya. Bukan keinginan
dan karier saya. Hampir semuanya pesanan, hampir semuanya hasil suruhan.
Diam-diam keadaan itu membuat
saya menjadi bahan tertawaan banyak kawan-kawan. Tapi alhamdulillah mereka
punya rasa pakewuh dan sisa rasa sayang kepada saya sebagai manusia,
sehingga saya tidak diejek semena-mena. Kalau ada festival, perlombaan,
konstelasai, kompetisi dlsb, saya tentu saja tidak akan pernah bisa masuk
-- tetapi ternyata diam-diam saya dilibatkan di dalamnya -- meskipun sekadar
sebagai bahan olok-olokan.
Misalnya saya disuruh membagi-bagikan
nasi kepada sejumlah orang yang pada suatu siang memang sangat membutuhkan
nasi. Pada saat itu ada acara Festival Nasi Tumpeng, di mana setiap unsur
nasi dan lauk di setiap tumpeng dinilai berdasarkan ideologi estetika tumpeng.
Kemudian karena kebetulan sejumlah orang yang saya kasih nasi itu sedang
nonton festival nasi tumpeng -- teman-teman menyangka saya juga sedang
berpartisipasi dalam festival tersebut.
Padahal saya tidak pernah
punya urusan dengan festival, dan nasi yang saya masak hanya saya orientasikan
untuk orang lapar yang sedang memerlukannya.
Sementara orang yang sibuk
berfestival pastilah tidak punya problem lapar nasi.
Sekarang saya mulai tahu bahwa
saya memang tidak profesional. Tidak modern dan tidak independen. Sekarang
saya mulai sadar kenapa selama ini apa yang saya kerjakan kok tidak laku,
sulit, dan payah.
Susahnya saya sudah terlalu
tua untuk mengubah diri, sehingga saya amat pesimistis bahwa saya akan
mengubah diri dari tradisionalisme dan konservatisme yang membuat saya
akan digilas zaman ini.
|