Menu Utama | Profile | Layanan Jasa | Pemesanan | Download


 Guruh Menggemuruh 
Oleh Emha Ainun Nadjib 

 Seri tulisan saya yang terdahulu terpaksa saya tunda karena banyak hal yang mendesak-desak.  

Misalnya surat dari kumpulan TKI kita di Arab Saudi yang panjang lebar yang isinya tak mungkin bisa diungkapkan kepada siapa pun atau lembaga apa pun, kecuali mungkin di'keranjangsampah'kan.  

Juga ada satu hal yang tak bisa ditunda, yakni masalah isu Guruh Soekarnoputra masuk Golkar.  

Dalam dua hari saya melakukan perjalanan acara dari Yogya ke Jombang untuk ke kebun-kebun tebu dan main sepakbola, lantas Surabaya lantas Yogya lagi dan sore ini ke Surabaya lagi untuk ''ngrumpi ecstasy''. Kemudian pas Anda membaca tulisan ini saya sedang bercengkerama dengan para perwira dan pensiunan polisi di Mojokerto serta di Padang Bulan malam harinya.  

Selama perjalanan itu, ketemu siapa pun -- ya Satpam, ya tukang angkut barang di terminal dan airport, ya makelar, ya sopir, ya pedagang, ya pokoknya siapa saja, apalagi wartawan -- rata-rata mengajukan pertanyaan yang menggemuruh tentang Guruh.  

''Apa benar koran Anda mau memuat jawaban saya mengenai Guruh?'' tanya saya kepada seorang wartawan Ibukota yang ketemu saya di sarasehan ulang tahun Perguruan Taman Siswa di Yogya kemarin siang.  

''Insyaallah,'' jawabnya.  

''Begini,'' saya melanjutkan, ''saya sangat senang Guruh masuk Golkar.''  

''Lho?!'' sang wartawan seperti terdesak.  

''Kok lho? Kenapa? Anda kurang cenderung sama Golkar rupanya.''  

''Ya bukan begitu. Tapi aneh kok Sampeyan senang Guruh masuk Golkar.''  

''Waktu Rhoma Irama masuk Golkar saya juga senang, hanya saja alasan-alasannya masuk Golkar saya kurang cocok. Ketika saya ketemu Ustadz Zainudin MZ di Bandara Cengkareng sepulang beliau dari berdakwah di ulangtahun kota Ujungpandang, saya ngobrol soal itu dan beliau mengatakan bahwa Pak Haji terpaksa melakukan apa yang tak bisa dielakkannya. Lantas saya titip pesan -- bagaimana kalau Pak Haji omong begini. ''Saya masuk Golkar karena saya menjumpai sangat banyak hal yang harus di-ishlah atau di-dandanin di dalamnya...''  

''Kalau kepada Guruh apa kira-kira saran Sampeyan?''  

''Belum tahu, dan lagi belum tentu Guruh kenal saya atau apalagi butuh saran saya. Wong Pak Haji Rhoma juga belum tentu butuh saran saya.''  

''Tapi prinsipnya Anda senang Guruh masuk Golkar?''  

''Ya, asalkan Guruh mengerti persis tanggal berapa bulan apa tahun berapa lahirnya Golkar dan siapa saja yang mendirikan.''  

''Maksudnya?''  

''Ya pokoknya begitu itu.''  

''Tapi kenapa Sampeyan senang Guruh masuk Golkar?''  

''Saya bahkan juga sarankan Megawati dan Buya Ismail Metareum beserta bolo-bolonya untuk masuk Golkar...''  

''Lho lho lho lho....!'' wartawan itu memotong kata-kata saya.  

Tapi saya meneruskan, ''Saya juga menganjurkan agar semua rakyat Indonesia masuk Golkar...''  

''Nggak lucu dong!'' ''Justru sangat lucu'' ''Nggak realistis...''  

''Apa sistem politik kita realistis? Apa sistem kepartaian kita realistis? Apa PPP dan PDI itu realistis, dalam arti yang kira-kira Anda maksudkan? Kita ndak perlu yang realistis. Kita butuh yang enak...''  

''Mosok semua masuk Golkar?''  

''Apa haram kalau semua masuk Golkar?''  

''Golkar sendiri yang ndak mau.''  

''Kan Golkar ingin merekrut siapa saja. Kalau perlu gendruwo juga masuk Golkar. Jadi apa salahnya kalau saya menganjurkan agar semua saja masuk Golkar? Termasuk saya. Saya juga bersedia masuk Golkar, asal bareng-bareng dengan Mega, Gus Dur, Buyung Nasution, Cak Nur...''  

''Termasuk Suryadi?''  

''Apa Suryadi belum Golkar?''  

''Wah, itu pernyataan aneh!'' ''Saya juga tidak tahu. Pokoknya sekali lagi saya juga mau masuk Golkar, asalkan bersama-sama Anda, Buya, siapa pun, pokoknya semua rakyat Indonesia...''  

''Sampeyan ini ngoyoworo!'' ''Mestinya Golkar kan seneng kalau kita semua bergabung.''  

''Golkar butuh pihak lain yang lemah dan bisa dia kalahkan.''  

''Maka diperlukan partai lak-lak-onde alias parpol bawang untuk menegaskan kemenangannya -- begitu? Dan itulah PPP dan PDI -- meskipun kita membayangkan dan selalu mengusahakan agar mereka tidak terus menerus demikian?''  

''Ya ndak begitu dong'' ''Tapi Anda setuju juga 'kan kalau semua rakyat Indonesia jadi Golkar? Toh lainnya samar antara ada dan tiada.''  

''Tapi kan Sampeyan menyatakan akan membantu PPP?''  

''Ya, alasan saya, antara lain, supaya PPP tidak hanya mengkonsentrasikan perjuangannya pada peningkatan perolehan suara. Perjuangan lembaga sejarah itu luas. Kalau PPP bilang mau akhlaqul karimah, maka kalau ada perilaku PDI atau Golkar yang kebetulan memenuhi sifat akhlaqul karimah, itu berarti sukses PPP juga...''  

Kami ngobrol berkepanjangan, sampai akhirnya sadar bahwa itu semua bukan wawancara, sebab tak mungkin dimuat di media.  
 


 

   

    Klick disini