Oleh Emha
Ainun Nadjib
Di Pondok Modern Gontor,
ada dua wilayah kepemimpinan. Yang pertama kepemimpinan hati, kedua kepemimpinan
akal. Yang satu kepemimpinan nurani, lainnya kepemimpinan intelektual.
Dulu zaman saya nyantri di
sana, yang pertama direpresentasikan oleh KH Achmad Sahal, yang kedua oleh
KH Imam Zarkasyi. Sekarang, kepemimpinan hati atau nurani terletak di keteduhan
KH Hasan Sahal, yang kepemimpinan intelektual digenggam oleh KH Syukri
Zarkasyi. Yang satu rohaniah dan kultural, lainnya organisasional sistemik.
Ada semacam persaingan di
antara mereka. Ada juga romantika kecemburuan, sedikit konflik atau terkadang
situasi-situasi ''love hate relationship'' yang manusiawi. Tapi
persaingan mereka tidak berwatak ''kawan dan lawan'', ''kami dan mereka''
melainkan bernuansa fastabiq al-khairat. Bersaing, berlomba, dan
berpacu dalam memperluas kebaikan dan mempertinggi fadhilah, ma'unah
dan karamah.
Kalau saya diminta untuk datang,
persentuhan saya tentu dengan badan kepemimpinan yang kedua. Jadi bisa
terseret untuk lebih akrab dengan 'sayap' ustadz Syukri. Nanti saya tak
boleh abai untuk juga berakraban dengan ustadz Hasan. Bahkan saya juga
akrab dengan 'sempalan' paranormal ustadz Abbas. Pun seandainya ada waktu,
pasti saya juga akan akrabi 'sayap-sayap' yang lain: nostalgia dengan kubu
Pak Miran, Pak Gudel, Pak Carik, 'kubu' Warok dan Pande Besi, atau apa
saja dan siapa saja. Ya di Gontor, Gandu, Malo, Mlarak, termasuk hantu
legendaris 'Si Kaki Tiga'.
Keakraban kemanusiaan ke semua
pihak di Gontor itu tidak melahirkan julukan bagi saya, misalnya pro-Syukri,
pro-Abbas, pro-Gudel, atau pro-Hantu Kaki Tiga.
Mental politik cakruk
tidak menggebu-gebu di Gontor sebagaimana yang saya jumpai dalam prikisme
perpolitikan kota-kota besar.
Kota besar itu koin antara
kedewasaan dan kekerdilan sekaligus. Koin antara kosmopolitanisme dan ultra
primordialisme sekaligus. Kota besar di Indonesia, karena metoda dan mekanisme
transformasi nilai-nilainya serba tanggung -- akhirnya melahirkan sifat
kekanak-kanakan global yang lebih dahsyat dibanding segala sifat kekanak-kanakan
yang pernah ada di muka bumi.
Kota besar melahirkan aktivis-aktivis
yang sangat canggih pemikiran dan ideologinya, namun sangat kerdil aktualisasi
watak dan perilakunya. Kalau diterapkan teori ''Negara dan Rakyat'', maka
kalau Anda tampak sering bersama rakyat Anda disimpulkan sebagai anti-negara.
Sebaliknya sekali saja ngobrol dengan Pak Pemerintah di cakruk atau
di warung, Anda akan dicurigai sebagai pro-negara.
Kalau sekali saja Anda tampak
bercengkerama dengan kelompok Tony, golongan Bony akan gelisah dan tersakiti
hatinya. Sebaliknya kalau Anda sekali waktu guyon sama Bony, orang-orangnya
Tony mencatat Anda sebagai orangnya Bony. Lebih gawat lagi gara-gara pertemuan
dengan Tony, lantas anak buah Tony langsung menyimpulkan Anda Tony-minded.
Juga jika itu terjadi pada Bony.
Penguasa yang menggenggam
nasib Anda ada dua, atau bahkan lebih. Kalau Anda mengritik pemerintah,
Anda adalah musuh pemerintah. Kalau Anda tidak taat, tidak sepaham, tidak
selangkah, tidak setrategi dengan kelompok anti-pemerintah, maka Anda adalah
orangnya pemerintah.
Kesimpulannya gamblang: kalau
Anda setuju seseorang atau suatu kelompok, maka Anda baik. Kalau Anda berbeda,
Anda tidak baik. Yang punya 'undang-undang' macam ini tak hanya pemerintah,
tapi juga mereka yang melawan pemerintah.
Tidak ada jalur untuk independensi.
Dan jalur politik ini sendiri sangat flat, datar, stereotip, mono-dimensional,
dan bermata kuda. Tidak ada ngelmu-rangkep, tidak ada strategi beyond,
tidak ada common intellegence, tidak ada manjing ajur ajer.
Setiap orang begitu lemah kepribadiannya: kalau ia masuk air pasti basah,
kalau menyentuh api pasti terbakar. Tak ada fenomena kesaktian untuk tidak
basah oleh hujan dan tak hangus oleh api. Kalau ''Perahu Retak'' yang kritik
frontal itu tak dilarang, kesimpulan gampangnya begini: ''Habisnya Emha
memang orangnya pemerintah!'' Seolah-olah kalau saya adalah orangnya Bapak
saya maka kepala Bapak saya boleh saya jundhu dan aibnya boleh saya
tonjok-tonjok.
Aktivis-aktivis hanya siap
bermusuhan: aku atau dia, kami atau mereka. Tak ada kulturalisme kita
dan spiritualisme manunggal. Hanya siap jadi kawan atau lawan. Itu
pun tanggung: mestinya kalau memang musuh, ya musnahkan. Kenapa dipelihara.
Adapun saya tidak memusuhi siapa-siapa. ICMI dan NU bukan musuh saya. ABRI
warna apapun bukan musuh saya. Militer dan sipil bukan musuh saya. Kapuspen
ABRI bukan musuh saya. Orang Katolik bukan musuh saya. Mereka adalah partner
untuk bermesraan, berdebat, bersaing, mempergulatkan segala nilai dan mekanisme
untuk menuju kebenaran yang sejati.
Jangankan manusia. Iblis dan
setan pun kadang-kadang saya merasa kasihan.
Kalau malaikat kan jelas baik
dan penghuni utama sorga. Kalau manusia punya kemungkinan: memilih pencahayaan
atau penggelapan. Kalau iblis dan setan: sudah telanjur bersumpah untuk
buruk, jahat, penjerumus manusia, penghasut, dan menantang api neraka.
Ada saat-saat hati kecil iblis dan setan menyesal, karena pada hakekatnya
mereka adalah makhluk Allah juga.
Ketika menyesal, mereka menangis
-- tapi segala sesuatunya sudah telanjur.
Maka dalam suatu pementasan
di Gontor, spontan saya minta Kyai Hasan Sahal maju ke depan. Spontan beliau
baca puisi karangan mendadak. Spontan teman-teman Kyai Kanjeng mengiringi
dengan musik. Selesai baca saja, saya hampiri beliau, saya rangkul pundaknya,
saya tahan jangan turun panggung dulu. Mikropon saya ambil, saya baca shalawat
nabi, pada kalimat ketiga mikropon saya sodorkan ke depan bibir Pak
Kyai, dan begitu beliau meneruskan shalawat -- saya loncat lari dari panggung.
Mau tak mau beliau meneruskan dengan segala improvisasinya yang semakin
lama semakin matang.
Kyai Syukri bertepuk tangan,
dan semua 'warganegara' Gontor tidak menuduh saya 'pro Hasan' dan 'anti-Syukri'.
Mereka rileks. Hati mereka jembar.
Otak mereka tidak dilendiri
oleh prejudis dan prasangka.
|