Oleh Emha
Ainun Nadjib
Sudah lama, dunia teater
tidak kita perhatikan kemungkinannya untuk menjadi wacana zaman. Menjadi
sumber acuan untuk memahami kenyataan hidup.
Menjadi reflektor, bahkan
mungkin semacam term of reference dari suatu lingkar ruang dan waktu
sebuah realitas.
Kangen rasanya.
Di Yogya, gabungan teaterawan
cukup lengkap dari hampir semua wilayah perteateran Yogya, kini sedang
sibuk berlatih menyiapkan sebuah pementasan yang berlangsung awal Desember
1996, berjudul ''Duta Dari Masa Depan''.
Tokoh-tokoh masa depan, terjerat
di satu panggung dengan tokoh-tokoh dari masa silam -- dari Sunan Ampel,
tokoh Pemuda 28 dan 45, hingga Petruk, Wisanggeni, Bismo, Sunan Kalijogo
dan lain-lain.
Salah satu bagian dari drama
ini, menjelang ending, merupakan monolog seorang tokoh masa
kini. Itu terjadi di dalam bilik pribadinya. Saya kutipkan di sini sebagian
teks verbalnya, namun sesungguhnya ia akan lebih utuh jika dipahami melalui
visualisasi akting dan setting panggung yang menolong mengejawantahkan
nuansanya.
Semoga ia masuk ke panggung
estetika dan gagasan di dalam diri Anda, kemudian Anda tonton sendiri dan
Anda interpretasikan sendiri. Ini drama tidak terutama bernilai historis-formal,
tapi setidaknya sosiologis historis:
''Semua orang tidak memahamiku.
Semua orang tidak bisa memahamiku.
Semua orang tidak mau memahamiku.
Setiap orang hanya memegang
pengertian terhadap pemahamannya sendiri atasku, tanpa sedikit pun menyisakan
ruang untuk menerimaku sebagaimana aku apa adanya.
Setiap orang bersikap otoriter
kepadaku.
Setiap orang adalah diktator,
fasis, jumawan, atas nasibku.
Aku tercampak, ke jagat kegelapan
mata mereka.
Aku terlempar memasuki kosmos
yang sunyi senyap...''
***
''Mereka pikir aku bangga
dan merasa nikmat dengan tongkat sejarah di genggamanku ini. Tongkat yang
bisa meruntuhkan bukit-bukit dan menghirup seluruh udara sehingga alam
menjadi hampa.
Padahal aku hanyalah seorang
Bapak yang lemah, yang tidak mampu menggelengkan kepala di depan wanita
sisihanku, yang romantik terhadap nasib anak-anakku, yang karena itu maka
selalu kubela mereka sebagaimana setiap Bapak di muka bumi ini juga selalu
membela anaknya.
Mereka sangka aku ini kuat,
gagah perkasa, liat, prigel, dahsyat, ngedap-edapi dan nguthowatiri...
Mereka sangka kenyataannya adalah bahwa aku sangat kuat, sangat tidak terlawan
oleh gabungan seluruh pasukan dalam sejarah.
Padahal sama sekali tidak.
Kenyataannya adalah bahwa mereka semua lemah dan tolol! Mereka pikir aku
merasa enak dengan semua ini, sehingga segala cara akan kutempuh demi supaya
aku tetap bisa ngangkang di sini! Mereka pikir aku sedang menjaring
masa silam dan masa depan dengan tali temali maha sakit yang kuikatkan
di jari-jari telunjukku! Mereka pikir pilihanku adalah tetap bertahan di
sini, tetap berdiri di podium kekuasaan ini, tetap mbegugug dengan
segala pemilikan sejarah yang seolah-olah kumiliki! Padahal aku hanyalah
orang yang tak bisa kembali.
Aku hanyalah pengembara yang
tersesat dalam sepi.
Aku hanyalah pengendali zaman
yang dungu, yang akhirnya oleh kendali itu sendiri aku ditangkap, diperangkap,
disandera dan diikat dengan tali mati''.
***
''Istriku, istriku, kenapa
di tengah gua sunyi yang buntu ini engkau tinggalkan aku? Kenapa engkau
tiba-tiba pergi dari suamimu yang kemudian menjadi pemurung yang tolol.
Buuu, mana kopiku malam ini?
Mana piyama tidurku?
Besok pagi apa kata pertama
yang musti kuucapkan?
Kalau aku berjalan, kaki yang
mana yang harus kudahulukan?
Sebaiknya yang kiri ataukah
yang kanan?
Istriku. Istriku.
Darah dalam dagingku.
Sekarang nyawaku tinggal separo...''
|