Oleh Emha
Ainun Nadjib
Orang-orang kaya, pedagang-pedagang
besar, kalau berkata ''Wah, rugi dong!'', biasanya bukan benar-benar rugi
yang mereka maksudkan. Rugi di situ lebih berarti labanya tidak banyak,
atau sekurang-kurangnya tidak laba.
Oleh karena itu mereka ini
tergolong manusia yang sangat saya kagumi.
Ketahanannya terhadap ketidakmapanan
sangat tinggi. Enerji spekulasinya spektakuler. Jiwa mereka sangat dinamis.
Kalau saya bertamu ke rumah mereka, saya selalu menatap ke sekeliling dengan
rasa takjub: ''Kok bisa ya beli barang-barang sebagus ini. Membayangkan
duitnya saja saya tak bisa...''
Mereka senantiasa berada dalam
situasi revivalisme, sementara orang macam saya terkurung oleh survivalisme.
Kalau jelas bisa makan semua orang yang saya tanggung di pundak saya, kalau
jelas bisa saya sediakan setiap keperluan mereka -- bisa saya cukuplah
hidup ini. Untuk saya sendiri tak ada problem: makan tinggal beli di warung
mana saja, pakaian kotor tinggal cuci sendiri, kalau ngantuk ya tinggal
tidur di mana saja badan bisa dibaringkan.
Tapi teman-teman yang saya
sebut itu jauh melebihi saya takaran hidupnya.
Meskipun omset hidupnya sudah
30 miliar misalnya, mereka masih tersiksa dan merasa rugi karena belum
40 miliar. Sudah mereka kuasai wilayah bisnis A, B, C, D, dan sejumlah
lainnya lagi. Tapi itu masih rugi karena yang Z, yang X, yang M, belum
berada di genggaman tangan.
Di dalam dunia perpolitikan,
Golkar adalah 'pedagang besar' semacam itu.
Meskipun ada lima gunung meletus,
Golkar tetap pasti menang jauh dibanding PPP dan PDI. Tapi kemenangan Golkar
tidak terasa sebagai kemenangan. Kalau sudah jelas menang lantas bertanding
dan memang kemudian menang, maka itu bukan menang namanya.
Harus ada sesuatu yang baru,
yang fenomenal, yang istimewa, yang memungkinkan rasa menang itu menggema
kembali dalam batin. Kalau kemenangan sudah pasti, maka rasa menang melewati
titik jenuh, sehingga diperlukan alternatif untuk membangkitkan kembali
rasa menang.
Kemenangan bukan lagi suatu
pencapaian obyektif, melainkan berfungsi subyektif. Kalau sudah jelas bisa
mencukup gundul kesebelasan lawan dengan sepuluh gol atau lebih -- permasalahannya
menjadi bergeser. Bukan berapa gol yang akan diproduk, melainkan bagaimana
gol diciptakan. Apakah dengan salto, tendangan pisang, atau mungkin dengan
ditiup.
Manusia dikendalikan tidak
oleh perutnya, sebab perut tak pernah bersedia menampung lebih dari tiga
piring nasi dalam sekali makan. Yang dipatuhi oleh manusia adalah lidah.
Lidah itu makhluk api. Api tidak mengenal batas. Api tidak bisa mengerti
apa yang bernama cukup atau kenyang.
Maka Golkar melakukan berbagai
cara untuk mendapatkan kembali kelegaan dalam kemenangan. Menang sudah
pasti, tapi menang yang bagaimana dulu.
Jangan-jangan karena sudah
biasa menang, orang lain lantas lupa bahwa ia menang. Maka diperlukan berbagai
sepak terjang untuk mengingatkan kembali orang banyak bahwa Golkar itu
menang, sangat kuat, bisa merekrut Wak haji Rhoma Irama segala, yang memang
sudah jatuh cinta kepada Golkar sejak enam tahun yang lalu.
Golkar melakukan apa saja
yang mungkin. Menghimpun dana Pemilu dengan bermacam metoda, yang transparan
maupun yang konfidensial. Kemudian media-media massa turut menabuh gendang
dan gong. Koran dan majalah beramai-ramai urun instrumen dan bunyi untuk
orkestrasi kemenangan yang sudah pasti sejak adegan awal. Koran tidak merasa
perlu mengambil jarak dari pentas seni kemenangan Golkar, karena yang penting
dari adegan-adegan itu selalu muncul ornamen-ornamen atau faktor-faktor
yang bisa dijual.
Kita semua senang menikmati
kisah-kisah orang lain siapa saja. Tak ada urusannya dengan perlu atau
tak perlu. Yang penting rerasanan itu mengasyikkan. Bahasa Arabnya:
qila wa qala. Bahasa Jawanya: tembung jare. Bahasa sehari-hari
kita: katanya.... Kata Polan Bung Iwan Fals tak mau anu, sementara
si Rhoma malah ano...
Sebuah koran nasional dari
Jawa Timur menggambarkan di halaman pertama atas: Rhoma didukung oleh lebih
10 juta massa, Iwan Fals dicintai oleh lebih dari 10 juta massa, Rano Karno
difavoriti oleh lebih dari 10 juta massa... Untung saja saya tak disebut
dalam gambar itu, sebab akan mempermalukan diri daku -- jumlah 'pendukung'
saya tak ada 1%-nya pendukung idola-idola saya itu.
Koran ini sebenarnya agak
menghina rakyat. Dengan penggambaran massa pendukung para public-figure
itu seakan-akan masyarakat adalah karung-karung beras yang bisa diangkut
kapan saja dan ke mana saja. Massa itu seolah-olah anut grubyug, swargo
nunut, neroko katut.
Kalau Rhoma dan Rano mencoblos
Golkar maka dua puluh juta pendukungnya otomatis mencoblos Golkar juga.
Hal-hal ini membuat kita memperdebatkan sesuatu yang mubadzir. Seandainya
sepuluh juta itu anut grubyug juga tak apa-apa, seandainya tidak
ya tak apa-apa. Setiap kemungkinan itu tak ada pengaruhnya bagi Golkar.
Golkar tetap menang.
Hanya saja saya sendiri diam-diam
belajar dari klenik-klenik budaya semacam itu. Saya pribadi tak pernah
percaya pada isyu bahwa saya punya massa. Ribuan orang yang datang di Pekanbaru,
Medan, Mandar, Surabaya, atau di manapun -- itu bukan massa saya. Yang
datang di Padang Bulan yang kata orang lebih sepuluh ribu orang itu juga
bukan massa saya. Mereka datang tidak untuk melakukan kebodohan dalam menganut
saya. Mereka berduyun-duyun datang untuk mencari kebenaran, mendengarkan
informasi-informasi, serta untuk bersama-sama berdoa mencari barakah dari
Allah.
Kalau saya ajak nyanyi, semua
ikut. Kalau saya ajak berpikir bahwa yang benar A dan yang agak salah adalah
B, tinggal separo. Kalau saya ajak bersikap bahwa C harus dibenahi, maka
massa tinggal seperempatnya. Ketika saya ajak bergabung dalam perjuangan
panjang, maka massa tinggal seperenambelas. Ketika saya maju ke medan perang,
awalnya ada ratusan yang ikut -- tapi di tengah jalan ketika saya menoleh,
ternyata tinggal beberapa jumput orang.
Oleh karena itu saya melarang
diri saya untuk memiliki posessiveness atau rasa memiliki massa.
Saya tidak pernah memiliki mereka dan tak perlu akan pernah kehilangan
meraka. Kalau Padang Bulan mau mereka teruskan, ayo diteruskan. Kalau mau
stop detik ini, ya saya turun podium detik ini juga, lantas tidur atau
ke gardu di pinggir desa. Tak ada bedanya dalam kalbu saya. Jangankan Padang
Bulan: alam semesta ini tiba-tiba tak ada, dan saya keselip entah di luar
kosmos sebelah mana -- ya monggo-monggo saja, tak ada sehelai bulu
saya yang tergerak oleh itu.
Saya akan membaduti setiap
mitologi massa. Saya akan mentertawakan kata-kata fans, penggemar, pendukung,
pengikut, penganut atau apapun.
Apalagi biasanya bukan para
penganut yang patuh kepada panutannya, melainkan si panutan yang harus
patuh kepada massa penganutnya.
Saya ini sejumput manusia
yang sama saja dengan siapa pun. Kita semua milik Allah, dan hanya Ia saja
yang saya anut untuk melakukan apa saja: mengisi keranjang sampah, menulis
puisi, menyanyi, shalawatan, maju perang, memimpin, jualan bakso, menjadi
teknisi komputer, atau apa saja.
Ya Hadi, iyyaka habibiii....
|