Menu Utama | Profile | Layanan Jasa | Pemesanan | Download


Bisa Penthang, Bisa Tasliyah, Bisa Penthul 
Oleh Emha Ainun Nadjib 

 Kasus penganiayaan sampai mati atas wartawan Yogya, Fuad Muhammad Safrudin, sampai hari ini belum bisa memberi kelegaan kepada masyarakat luas -- khususnya masyarakat pers Indonesia -- bahwa segera terungkap.  

Beberapa waktu lalu, sudah ada pernyataan bahwa kepolisian sudah tahu siapa pelakunya, namun sampai hari ini, tak ada kelanjutannya.  

Semua pihak khawatir, Udin akan menjadi Marsinahnya Yogya. Kasus matinya buruh Surabaya ini, memasuki episode-episode aneh serta pergantian skenario yang sampai hari ini, tak ada kelanjutannya.  

Hilangnya nyawa manusia di Indonesia bisa menjadi peristiwa sangat simpel: hilang, meninggal, terkubur entah di mana, kemudian dilupakan oleh siapa saja. Tapi bisa juga sangat ruwet dan tak berkesudahan. Bisa ada akarnya dalam kebudayaan dan feodalisme, bisa terkait dengan fanatisme 'korps' suatu kelas masyarakat, bisa berbenturan dengan -- misalnya -- kewibawaan golongan prajurit, atau apa saja, pokoknya yang unik-unik, absurd, cengeng, puritan, atau segala macam gejala psikis manusia Indonesia.  

Secara keseluruhan berbagai kasus dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan kita, seringkali malah lebih gampang dipahami melalui pendekatan psikiatris. Entah politik besar, perebutan kantor partai, mutasi para senopati, pengorganisasian orang pandai, atau apa saja, bisa didekati dengan itu. Meskipun demikian, tidak berarti saya mengatakan bahwa bangsa Indonesia, bangsa yang sedang sakit jiwa dan akan terus sakit jiwa sampai beberapa dekade mendatang.  

Kasus wartawan Udin di Yogya itu sedang dilacak beberapa tim investigator, yang resmi maupun yang setengah resmi -- artinya yang langsung berkewajiban secara yuridis maupun yang berkewajiban secara moral dan organisasional pada level sosial. Kasus ini juga mendapat perhatian luas.  

Sejumlah wartawan BBC London, bahkan membuat feature khusus, dengan datang langsung ke lapangan.  

Masing-masing kelompok investigator memilih tema atau kemungkinan skenario yang diyakini paling logis menurut jalan berpikir mereka. Yang perlu diyakinkan kepada masyarakat adalah apakah pilihan 'teori' atau 'skenario' itu memang berangkat secara murni dan rasional dari resultan berbagai data yang dihimpun.  

Ataukah didorong oleh unsur subyektivitas, entah karena romantisme pembelaan atas korban, atau karena sikap defensif untuk menjaga nama baik tertentu atau melindungi kepentingan tertentu -- sehingga dinamika pelacakan yang berlangsung bukanlah partnership dalam mencari kebenaran, bukan fastabiqul khoirat, melainkan okol-okolan untuk memaksakan skenario demi kepentingan non-yuridis.  

Hal-hal semacam itu bukan barang mewah di Indonesia. Perilaku budaya hukum semacam itu merupakan makanan sehari-hari kita.  

Jadi, kasus Udin ini mengasyikkan, karena merupakan ujian bagi semua pihak -- apakah mereka benar-benar mengabdi kepada kebenaran atau tidak.  

Betapapun pahitnya kebenaran itu, dan tak perduli akhirnya nanti ternyata menyangkut tema dan pihak yang sama sekali tak tersangka-sangka -- apakah kita semua sebagai masyarakat sanggup menerimanya dengan jantan dan tenang.  

Segala proses pelacakan ini diuji juga, apakah terbuka bagi segala macam fenomena dan kemungkinan, sebab siapa yang menjamin bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah sesuatu yang sama sekali di luar asumsi kita.  

Dan bahkan sama sekali tak kita percaya dan seperti tak relevan dan tak masuk akal.  

Ada yang bersikeras bahwa matinya Udin ini, tak lain bersangkutan dengan masalah struktural: ketidaksenangan pihak tertentu atas progresivitas Udin memberitakan berbagai penyelewengan dan arogansi kekuasaan. Dihimpunlah berbagai data yang memperkuat asumsi ini, misalnya: Lihat itu ada pejabat lokal yang justru merasa senang -- ''Pengacaunya sekarang sudah lenyap...,'' katanya. Lihat ini ada bukti surat hitam di atas putih yang menyangkut uang konsesi sejumlah anu.  

Ada yang bersikeras bahwa kasus ini bermula dari konflik intern suami istri. Coba cari si Polan di desa Waru. 'Kan si Fulan malah jalan-jalan di Mall dengan orang lain. Sekarang tunggu saja kalau uang sumbangan itu nanti menumpuk dan menimbulkan kisruh.  

Ada lagi lainnya yang justru menunjuk ke tema yang enggak-enggak. Yang ecstasy-lah, yang koperasi di Sukabumi-lah, yang bekas industri tradisional di Wirobrajan-lah, yang kebetulan menyaksikan dan mendengar konflik itu-lah, yang mempertanyakan apakah Udin terbunuh ''karena telah memberitakan sesuatu'' ataukah justru ''karena bersikeras akan memberitakan sesuatu yang lain'' -- dan seterusnya dan seterusnya. Bahkan diungkap dan dihitung secara lebih detil sehingga tak memungkinkan dituliskan di sini -- yang membuat segala sesuatunya menguak secara tak terduga oleh semua pihak.  

Alhasil kasus Udin ini masih di tengah kontroversi asumsi. Yang membunuh dan yang nyuruh bisa saja Saddam Hussein, bisa Yevtushenko, bisa Entahlah atau Tasliyah, bisa Belang atau Penthang, bisa Gundul bisa Penthul. Yang paling gampang adalah dengan segala hormat mengundang Allah Swt. langsung agar Beliau memberikan kesaksian -- meskipun saya yakin kalau ini bisa terjadi, akan tidak diterima dan tidak dianggap memiliki kekuatan hukum.  

Yang juga penting bagi kita rakyat kecil adalah isi hati semacam ini: ''Sudah cukup banyak korban dalam berbagai kasus yang tak tertolong. Kalau kaum wartawan Indonesia tidak bisa menjaga kebenaran dan memelihara kewibawaan sejarah yang menyangkut nyawa temannya sendiri, lantas kita-kita yang wong cilik ini akan merasa lebih tidak memiliki jaminan apa-apa lagi. Kalau wartawan saja tak terbela, lantas siapa yang membela reang, awak, kawula...?  
 


 

   

    Klick disini