Oleh Emha
Ainun Nadjib
Di harian ini pernah
saya tuliskan bahwa tanggal sekian akan terjadi anu, tanggal sekian terjadi
ana, selanjutnya ano, ani dan seterusnya. Tentu saja itu bukan ramalan
saya, melainkan karena saya diperalat oleh suatu kekuatan yang menginformasikan
bunyi-bunyian semacam itu. Sejak dulu saya suka diperalat, dengan dua syarat.
Pertama, untuk keperluan dan
perhitungan yang saya pahami dan yakini mengandung kemashlahatan umum.
Kedua, yang memperalat saya bukan kekuatan politik dalam konteks negara,
bukan kelompok apapun, pokoknya bukan siapa-siapa atau apa-apa yang bisa
memaksanakan kehendak atas saya.
Lantas sesudah waktu yang
saya sebut-sebut itu berlalu dan tidak semuanya terjadi, saya diisin-isin
dan ditagih oleh teman-teman. ''Mana yang Ente omong-omongkan itu?''
Jawaban saya macam-macam.
Ada teman yang saya omongi begini: ''Salahnya Ente percaya sama saya. Wong
dapurane saya saja kok dipercaya!'' Dengan demikian teman ini puas
hatinya, senang perasaannya, dan terbebas mentalnya dari kecenderungan
membesar-besarkan saya. Saya pun dapat pahala dengan mengubah hal-hal dalam
dirinya untuk sesuatu yang lebih baik.
Teman yang lain saya tambahi:
''Lha wong yang digaji saja belum tentu bisa dipercaya, apalagi
saya yang tidak digaji apa-apa oleh negara, malah sering dicurigai!'' Teman
yang lain lagi saya sediakan jawaban berbeda. ''Ente nagih ini? Kok yang
saya tuliskan ternyata omong kosong, begitu?''
''Ya!'', jawabnya mantap.
''Ente lugu sekali. Ente melihat
dunia politik seperti menilai orang kasmaran atau orang jual beli
di warung. Kalau orang beli rokok di warung dan tanya harga, lantas penjualnya
bilang harganya seribu perak, ya itu artinya seribu perak. Tapi kalau politik,
tidak begitu...''
''Ente selalu menjerat orang
ke dalam argumentasi yang ruwet!'' ''Lho memang politik itu ruwet. Ia tidak
ruwet hanya pada momentum sesaat ketika suatu episode keruwetan bisa kita
jinakkan dengan logika dan pemahaman kita. Tapi jangan lupa setiap ketidakruwetan
politik bisa mendadak menjadi bahan sebuah keruwetan yang baru...''
''Bahasa jelasnya saja bagaimana!''
teman saya membentak, ''mana itu kejadian-kejadian yang Ente tuliskan?''
Saya coba menjawab: ''Kalau
saya umumkan di gardu bahwa si Muntu akan memukul di Amrin hari Kamis sore
di sebuah warung rujak -- saya jamin kejadian itu akan tak terjadi, karena
Muntu bukan anak bodoh. Atau kalau saya umumkan hal itu akan terjadi Kamis
sore, malah hari Sabtu sebelumnya si Amrin sudah jadi korban...''
Dia mulai mendengarkan, dan
untuk sementara saya biarkan dia mulai menganggap secara tolol bahwa saya
ini benar-benar mengerti politik.
Padahal sebenarnya yang saya
demonstrasikan hanyalah ketrampilan membuat naskah dialog drama.
''Kalau saya mengumumkan lagi
di gardu bahwa si Polan akan meninggal dunia,'' kata saya lebih lanjut,
''maka entah Muntu entah Amrin atau kelompok Waru maupun Dadap akan pasti
meluangkan waktunya untuk merombak kembali hitungan-hitungan dari yang
akan dilakukannya. Dia tak akan berani bilang -- 'Ah, tak mungkin'. Atau
bisa jadi malah yakin -- 'Memang benar akan demikian' -- maka skenario
episode-episodenya akan mengalami perubahan mendasar...''
Jadi, itu semacam dekonstruksi
atas suatu bangunan, rancangan atau impian -- setidaknya bersifat temporal.
Apa yang kita sangka abadi,
yang kita tunggu sedemikian lama tak kunjung usai -- bisa kita pastikan
ia tidak abadi. Adapun siapa pun saja atau kelompok apapun saja atau 'Satgas'
komposisi jenis kayak apapun saja di sekitar atau di bawah yang tidak abadi
itu -- juga bisa kita pastikan bersifat temporer, berganti-ganti formasi,
berganti-ganti 'kapten', bergeser-geser arisan otoritasnya alias giliran
pentasnya.
Ini semua tentatif dan relatif.
Kalau kita metaforkan -- secara
agak ekstrim -- bahwa sejarah yang sedang berlangsung ini semacam penjara;
maka sipir-sipirnya tentatif dan relatif.
Borgolnya terletak di tangan
siapa, juga bisa cepat berpindah-pindah.
Seorang sipir kemarin sore,
tiba-tiba pagi ini terborgol tangannya. Semua itu berlangsung sangat dinamis
dan serba penuh kemungkinan, sehingga nasehat yang paling diperlukan oleh
setiap sipir adalah ''Ojo Dumeh''.
Jangan mentang-mentang, jangan
over acting, jangan merasa sedang beralamat di keabadian. Yang itu
saja tidak abadi, apalagi sekadar yang Ente. Bisa saja Ente bangun tidur
untuk kaget ternyata kantor Ente sudah pindah.
Yang agak permanen di antara
semua itu hanyalah kaum 'tahanan'. Siapa itu? Ya saya, Anda dan hampir
dua ratus juta sedulur-sedulur kita lainnya.
Proses pengadukan, pembusukan
dan sekaligus sublimasi, kristalisasi dan kemudian redistribusi realitas
historis bisa berlangsung lambat atau agak cepat -- namun para 'tahanan'
macam kita ini ya tetap saja 'tahanan'.
|