Oleh Emha
Ainun Nadjib
Rakyat saya ini sungguh
bandel. Sebagai pemimpin, sungguh saya tak pernah menyangka bahwa manusia
bisa sedemikian mbanggel-nya. Susah benar mengatur mereka. Orang
diajak bersatu saja kok sukarnya bukan main.
Mending mengurusi kambing
atau sapi.
Bersatu itu 'kan enak. Alam
dan kehidupan sudah memberi contoh sejak dulu.
Kalau cabe mau bersatu dengan
terasi dan brambang, ditambah garam, kan jadi sambal yang nylekit. Apa
sih keberatannya? Sekadar bersatu dengan terasi -- kok keberatan. Apa maunya
hidup tanpa sambal? Coba kalau berani: bikin undang-undang yang melarang
sambal! Saya jamin akan terjadi revolusi.
Dan revolusi semacam itu belum
tentu akan terjadi kalau alasannya adalah bukan sambal. Kalau yang jadi
isu sekadar ketidakadilan sosial, konglomerasi yang berlebihan, kediktatoran
politik atau masalah-masalah remeh yang semacamnya -- berani taruhan tak
akan bisa membuat rakyat bergerak.
Hanya sambal sajalah yang
dijamin bisa menjadi sumber people power.
Ini adalah negeri sambal.
Ini adalah masyarakat sambal. Ini adalah kebudayaan dan peradaban sambal.
Dan sekarang terbukti bahwa
terutama di bidang politik, para aktivis jelas tidak mampu meniru persatuan
sambal.
Jadi, saya ini sebagai pemimpin,
benar-benar pusing kepala.
Entah kenapa Tuhan mencampakkan
saya ke urusan-urusan di mana saya harus berhadapan dengan anak-anak kemarin
sore yang naif-naif.
Saya ajak merawat persatuan
dan kesatuan, rewelnya bukan main. Saya kasih tawaran untuk memiliki kemuliaan
jiwa, juga ogah-ogahan.
Misalnya, kaki mereka saya
injak, lantas saya katakan: ''Damai ya? Kamu mau memafaatkan saya atau
tidak? Memaafkan itu perbuatan luhur. Tuhan saja banyak sifat pemaaf dan
pengampunnya. Tuhan itu ghofur, tawwab, 'afuwwu, ghofar dan lain-lain.
Semua itu sifat pemaaf. Coba kamu pikir, Tuhan yang mahabesar dan tak butuh
apa-apa saja bersedia memaafkan, kok kamu sok tidak mau memaafkan. Ayo!
Mau memaafkan saya atau tidak! Kalau tidak, berarti kamu menentang saya!
Merongrong kewibawaan saya!'' Jadi, kalau saya menginjak kaki mereka, itu
suatu metode pendidikan untuk melatih kebesaran jiwa mereka. Kalau saya
menempeleng kepala mereka, itu untuk menguji keluasan hatinya. Kalau saya
menendang seseorang sehingga terlempar jatuh dari kursinya dan ia lantas
duduk di kursi bayangan, itu demi menatar keteguhan batinnya. Kalau saya
rampok hartanya, saya gusur ladangnya atau saya ambrukkan rumahnya, itu
semata-mata kaifiyah atau prosedur agar mereka mengembangkan kecerdasan
ilmunya tentang keadilan dan kebenaran.
Menguji keluasan hati, melatih
kebesaran jiwa, mengembangkan ilmu dan meneguhkan akhlak, dan lain sebagainya
-- adalah hal-hal yang merupakan inti ajaran Tuhan dan para nabi-Nya. Saya
sekadar penerus, ahli waris.
Di sinilah letak kesalahpahaman
rakyat saya. Maklumlah mereka memang masih bodoh-bodoh. Merdeka belum lama.
Terlalu lama dijajah oleh Kumpeni dan sebelumnya ditindas oleh raja-raja
sendiri. Jadi memang saya memerlukan tahap-tahap pembangunan dan pendidikan
jangka panjang. Puluhan tahun. Dan kalau saya boleh buka rahasia: saya
tidak mau dinilai oleh Tuhan sebagai pemimpin yang tinggal gelanggang
colong playu. Pemimpin yang lari dari tanggung jawab sebelum tugasnya
mampu dibereskan dengan tuntas.
Tidak. Saya bukan tipe manusia
yang pengecut dan betina. Sebelum tanggung jawab bisa saya penuhi sepenuhnya,
saya tidak akan lari ke manapun. Saya akan tetap panggul tanggung jawab
itu, sebagaimana para rasul dulu loro-lopo memanggul risalah mereka,
meskipun disakiti, dilukai, difitnah, dirasani, dan disalahpahami.
Itulah beda antara saya dan
kebanyakan pemimpin lain di dunia ini. Mereka pada umumnya melompat dari
kursi amanat rakyatnya dan melarikan diri keluar dari balairung tanggungjawab
nasionalnya, sebelum tugasnya dituntaskan. Beberapa tahun mereka sudah
tak tahan dan angkat tangan.
Lantas turun dari jabatannya
dengan meninggalkan problem-problem. Dan problem-problem itu harus diselesaikan
oleh para penggantinya. Para pemimpin baru yang menggantinya, yang tidak
ikut menciptakan problem, harus susah payah mengatasinya.
Itu benar-benar suatu kecurangan
sejarah.
Dan saya tidak. Sekali saya
tegaskan: saya tidak! Saya tidak demikian. Saya bukan pengecut licik dan
tengik. Saya, dengan saksi Allah, para malaikat dan segala lelembut --
akan dengan teguh memanggul tanggung jawab ini sampai titik darah penghabisan.
Rawe-rawe rantas. Malang-malang putung.
Tapi ya itu -- susah bener
menyuruh rakyat untuk bersatu.
Masyaallah. Tetapi, namanya
juga rakyat. Rakyat itu kanak-kanak abadi.
Susah diajak dewasa. Kalau
anak kecil itu kemriyek, suka ribut dan suka berebut apa saja. Kalau
orang dewasa bisa lebih tenang dan stabil jiwanya. Sungguh saya mendambakan
kedewasaan rakyat. Maunya saya, mbok yang tenang-lah. Saya kasih makan
apapun, usahakanlah tenang. Kalau saya kasih peraturan-peraturan, atau
bahkan pun kalau saya sendiri melanggar peraturan yang saya bikin, berupayalah
untuk tetap tenang. Tujuan saya adalah memang menguji daya ketenangan dalam
jiwa mereka.
Kalau saya menggusur, saya
sekadar ingin tahu seberapa kadar kesabaran mereka. Kalau saya ambil makanan
lebih banyak dibanding jumlah makanan mereka semua, itu wajar, karena saya
memang pemimpin. Moso' pemimpin disuruh kelaparan! Kalau saya menentukan
siapa Kepala Satgas, siapa Ketua Partai, siapa Pimpinan Organisasi, berapa
hektar sawah untuk keluarga saya, dan lain sebagainya -- itu semata-mata
untuk mendeteksi takaran sangka baik nasional mereka. Rakyat saya harus
dewasa, harus matang kepribadiannya, tidak gampang bersangka buruk, tidak
gampang iri, dengki atau cemburu.
Misalnya sekali waktu, atau
di banyak waktu, sengaja saya menerapkan perilaku yang penuh kemunafikan.
Itu apa tujuan saya? Tak lain tak bukan adalah untuk mengetahui secara
persis seberapa tinggi ketahanan mereka atas hal-hal yang buruk. Kalau
saya sebarkan ketidakadilan, umpamanya, saya ingin mengerti seberapa kukuh
hati mereka ditimpa oleh nasib buruk yang menyiksa. Sebagai pemimpin saya
tidak mau punya rakyat yang cengeng, yang rewel dan sentimentil. Mereka
harus tetap tenang, damai dan bersatu, meskipun ditimpa ketidakadilan dan
ketidakbenaran.
Mungkin terpaksa saya akan
menuliskan semua filosofi ini dalam buku-buku.
Mungkin akan saya cicil sedikit
demi sedikit melalui pidato-pidato, agar rakyat saya terdidik. Mungkin
juga saya akan menciptakan semacam reportoar drama, entah monolog entah
drama kolosal -- mengenai semua ini -- agar saya berlega hati menyaksikan
rakyat saya berproses untuk dewasa dan penuh persatuan dan kesatuan. Kalau
tidak, saya akan malu kepada dunia.
|