Oleh Emha
Ainun Nadjib
Setiap manusia Indonesia
pada dasarnya sangat mencintai saudara-saudaranya sebangsa. Tuhan menyediakan
naluri dan benih akhlak untuk saling berbagi, saling menyejahterakan. Manusia
dianugerahi bakat untuk merasakan nikmat dalam berjamaah. Tak ada manusia
yang aslinya sanggup merasa tenteram jika di sisinya ada saudaranya yang
kelaparan, atau mampu tidak gelisah jika di depan matanya ada siapa pun
yang mengalami luka atau penderitaan.
Metoda atau tarikat untuk
merawat naluri dasar itu, menurut Tuhan, sangat bersahaja. Ialah, jangan
makan berlebihan. Kulu wasyrobu, wa (lakin) la tusrifu. Makan dan
minumlah, (tetapi) jangan berlebihan.
Keberlebihan dalam soal-soal
keduniaan ini saja yang menjadi sumber segala malapetaka hidup manusia.
Ya malapetaka mental, malapetaka ekonomi, malapetaka politik, pergaulan,
kebudayaan, peradaban maupun malapetaka keakhiratan atau yang disebut fenomena
neraka.
Kalau yang akhirat-haqiqiyah
atau rohaniah, misalnya berwirid, kata Allah, lakukanlah sebanyak-banyaknya.
Namun dataran akhirat-syar'iyyah pun, menurut Allah, musti dibatasi.
Misalnya, salat subuh ya dua rakaat saja, dhuhur empat rakaatlah. Tak usah
tanya.
Termasuk kenapa salat sehari
harus lima waktu. Sekali lagi tak usah tanya.
Sebaiknya kita belajar memasuki
alam 'kasyaf' betapa nikmatnya pasrah kepada Allah. Kecuali kalau Allah
juga boleh bertanya kepadamu: kalau Ente salatnya tiga kali sehari, Aku
juga ambil dua batang jari tanganmu, supaya perangaimu menjadi lucu.
Jadi kalau yang syariat untuk
akhirat saja jangan berlebihan, maka apalagi makan, minum, berpakaian,
membeli ke supermarket, menjabat sesuatu, menguasai modal, memiliki perusahaan,
menghimpun wilayah bisnis, dan lain sebagainya.
Nah, karena tradisi kita adalah
tradisi berlebihan, maka yang kita produk adalah juga festival keberlebihan
permanen. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak rajin belajar menakar
kebutuhan yang pas dan sehat. Dalam berindustri, kita mengideologikan mekanisme
untuk memacu manusia, agar melampiaskan nafsu membeli dan memiliki apa
saja yang jangan sampai para konsumen memiliki ilmu untuk mengerti batas-batas
yang sehat mengenai apa yang diperlukannya. Dalam berpolitik kita mau berkuasa
secara belebihan, sehingga yang kita tradisikan adalah juga sikap defensif
yang berlebihan, curiga yang berlebihan, su'udhdhon yang berlebihan,
melotot dan menuding yang berlebihan.
Akhirnya di seluruh negara
ini yang berlangsung adalah akumulasi dan kompleksitas keberlebihan di
segala bidang. Nafsu pemilikan duniawi berlebihan. Nafsu berkuasanya berlebihan.
Hipokrisinya berlebihan.
Kejamnya berlebihan. Kufur-akhlaknya
juga berlebihan, meskipun kufur-akidahnya kelihatan tak berlebihan. Yang
lahir dan merajalela kemudian adalah semakin tidak adanya peluang sinergi
antar-nilai -- misalnya politik-ekonomi-budaya-agama -- yang bersifat interkritis.
Masing-masing berjalan sendiri-sendiri,
ucul dhewe-dhewe dengan keberlebihannya sendiri-sendiri pula.
Akhirnya korupsinya juga berlebihan.
Kolusinya juga berlebihan. Pembelaan atas korupsi dan kolusi juga berlebihan.
Kriminalitas yang merambah juga berlebihan. Perkosaan berlebihan. Membunuh
kejamnya berlebihan. Karena merajalelanya rasa sakit hati orang banyak
juga berlebihan, sehingga reaksinya pun berlebihan.
Pandangan-pandangan Megawati
atas apa yang dimilikinya dalam konteks politik akhirnya juga berlebihan.
Ribuan orang mustadl'afin yang membela Mbak Ega juga berlebihan
muntahnya, tidak mampu merawat rasa-efektivitas, serta tidak mengerti seratus
persen atau apalagi detil, apa yang sesungguhnya mereka bela. Karena yang
menyerbu dan mendongkel Mega sendiri pun berlebihan ramuan-ramuannya, tidak
sanggup menemukan racikan inisiatif yang bisa dipertanggungjawabkan dari
sudut nasionalisme, kenegarawanan dan kearifan kebudayaan politik.
Maka makhluk yang bernama
cinta, yang bersemayam secara permanen di dalam diri manusia, akhirnya
menjadi 'binatang' liar. Ia mencari pemenuhan ke sana ke mari, tanpa suluh,
tanpa bimbingan. Sangat banyak hal tak bisa dijawab, tak bisa dijelaskan
secara rasional, tak bisa diatasi. Ia membawa manusia lari menyebar ke
berbagai macam bentuk dan modus 'ecstacy'.
Ada ecstacy langsung yang
chemical. Ada ecstacy kultural melalui konsumtivisme estetika fatalistik.
Ada ecstacy psikis melalui perilaku-perilaku anti teori. Ada ecstacy spiritual
melalui kursus pernapasan, tarikat antah berantah.
Masing-masing, ecstacy itu
meskipun tidak semuanya berefek negatif dan menghancurkan manusia, tapi
juga tidak menggambarkan kesanggupan transendensi intelektual dan spiritual
para makhluk yang oleh Penciptanya sesungguhnya sudah dibekali berbagai
hal untuk bisa mengatasi itu semua.
Di antara ribuan kristal-kristal
cinta yang liar mengembara itu, terdapat beberapa yang tak berhenti pada
klenik paranormal atau kosmos kebatinan yang tanpa cakrawala teologi dan
teosofi -- sehingga kehilangan alamat di tengah kosmos. Mereka mencoba
menguak alam 'kasyal' dan mencoba memasuki wilayah 'bayan'
dan atau 'mubin'.
Manusia pada dasarnya juga
sangat lemah, telinganya bisa disusupi kotoran, penglihatannya juga bisa
dipeleseti oleh bias-bias. Tetapi bagaimanapun Allah telah senantiasa menyebarkan
amsal-amsal, dari terbalik-baliknya logika suprastruktur sampai
sodomi anak-anak penyemir sepatu. Allah selalu menghamburkan ilmu-Nya dan
para makhluk tinggal memetiknya dari udara. Cara menangkapnya benar atau
tidak, yang ditangkap murni atau tidak, selalu bersifat relatif. Tapi yang
baik selalu tetap bisa disortir untuk dijadikan bahan antisipasi, bahan
menghikmahi dan acuan untuk mempersiapkan diri terhadap ''the coming
days of kalau-kalau''.
Maka sejumlah tokoh mendapatkan
pemberitahuan mengenai kemungkinan-kemungkinan itu. Misalnya tanggal satu
adalah hari perebutan.
Tanggal lima adalah hari penyerbuan.
Tanggal enam adalah hari pembalasan.
Tanggal tujuh adalah hari
perbenturan. Tanggal tujuh belas dan dua puluh adalah hari kematian. Dijelaskan
''ini lho biyang dari semua ini''.
Termasuk dituturkan mengenai
seorang yang sesungguhnya merupakan duri di jantung sebuah kelompok sangat
besar yang selama ini digadang-gadang oleh mayoritas.
Yang jelas marilah memasuki
hari-hari di depan ini dengan persediaan cinta murni yang sebanyak-banyaknya
serta dengan kewaspadaan yang setinggi-tingginya. Daerah-daerah bawah sudah
telanjur lembab sehingga tak gampang disulut api. Tapi wilayah atas sangat
rawan bakar. Namun di antara semua itu terdapat satu hal yang pasti benar
dan pasti baik: rekayasa nuklir itu, apapun yang terjadi, demi Allah, jangan
teruskan. Siapa pun engkau, sehebat apapun engkau, demi Allah jangan lakukan.
Naru jahannam, kholidina fiha. Tak usah kutulis buku besar tentang
tasauf, teologi, kimia, biologi, peradaban nur dan peradaban nar
-- untuk memohonmu tak meneruskan itu.
|