Oleh Emha
Ainun Nadjib
Kita semua ini memiliki
naluri bawah sadar untuk senantiasa ingin mendekat kepada Tuhan. Salah
satu indikatornya: tiap hari kita sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang semestinya tidak kita sodorkan kepada sesama kita, melainkan kita
ajukan kepada Tuhan.
Ketika pertarungan tinju kelas
berat dunia antara Riddick Bowe melawan Andrew Golota akan berlangsung,
penyiar bertanya kepada komentator: ''Golota ini dikenal sebagai petinju
yang suka bermain kotor. Bagaimana, menurut Anda, apakah dalam pertandingan
nanti dia akan melakukan ulah kotor juga?''
Untung komentatornya orang
sopan bernama Syamsul Anwar dan jurnalis Nigara. Seandainya saya yang ditanya,
tentu saya jawab dengan lugu: ''Kebetulan menjelang pertandingan ini saya
tidak bertemu Golota, sehingga saya tidak sempat menanyakannya. Juga waktu
shalat tadi malam saya lupa mengkonfirmasikan soal itu kepada Tuhan. Biasanya
sih saya memang agak usil tanya sama Tuhan, misalnya tentang petinju yang
mana yang akan menang, tentang apakah besok saya dapat utangan...''
Itu menunjukkan kedekatan
dengan Tuhan. Para wartawan juga punya kebiasaan menanyakan hal-hal yang
sebenarnya hanya Tuhan yang bisa menjawab dengan pasti. Mainstream
'realitas' yang digali kaum jurnalis akhir-akhir ini bahkan bergeser ke
wilayah-wilayah yang belum terjadi, yang manusia hanya bisa mengira-ngira,
mengasumsikan, memprediksikan, meramalkan, atau paling jauh -- dengan kementerengan
akademis -- 'menganalisis ke depan'.
Tapi semua itu produknya pasti
relatif. Artinya, yang pasti ya relativitasnya itu. Dan salah satu sifat
'zat' makhluk manusia memang kesukaannya yang agak berlebihan terhadap
relativitas. Kalaupun manusia pada suatu hari memperoleh 'kepastian', ia
lantas segera ingin kepastian yang lebih jauh lagi, sehingga kepastian
itu menjadi tidak pasti. Kita sudah pasti punya uang satu juta sebulan,
tapi kita suka kalau kepastian itu berkembang menjadi dua juta sebulan,
atau syukur-syukur dua miliar sebulan. Kita sudah pasti menguasai suatu
grup bisnis yang menternakkan lebih dari seratus perusahaan, tapi diam-diam
kita ingin agar kepastian seratus perusahaan itu berkembang menjadi dua
ratus, tiga ratus, dan kalau bisa sih seluruh negara ini menjadi milik
pribadi atau keluarga kita.
Manusia itu makhluk pelamun
atau tukang melamun nomor satu di alam semesta. Semakin banyak yang kita
miliki, frekuensi dan volume lamunan kita juga semakin tinggi dan semakin
luas. Kita tidak sekadar suka melamunkan apakah Ceko bisa menjadi juara
Euro '96, apakah Adi Andoyo akan dipecat, apakah Edy Tansil akan 'tertangkap'.
Kita bahkan sanggup juga melamunkan bahwa sesudah bulan depan kita terpaksa
mati, misalnya karena serangan jantung, siapa tahu akan ada kesempatan
untuk memperoleh Kebangkitan Kembali sebagaimana Ratu Adil maupun Ratu
Tidak Adil.
Jadi sesungguhnya teori-teori
kebudayaan harus bersegera memperluas dirinya supaya tidak terlalu bertahan
kerdil. Impian pada hakikatnya jauh lebih marketable bagi umat manusia,
terutama bangsa Indonesia, dibanding realitas. Kalau toh yang mereka kejar
adalah realitas jumlah deposito, keluasan akses dan koneksi, wujud-wujud
kemewahan duniawi konkret -- namun sesungguhnya semua realitas konsumsi
itu tidak benar-benar diperlakukan sebagai realitas konsumsi itu sendiri.
Melainkan 'diperalat' sebagai bahan untuk melambungkan impian baru.
Semakin kita kaya, berkuasa
dan memiliki segala sesuatu, kadar impian kita juga akan meningkat pesat
-- dan impian itulah yang sesungguhnya lebih penting. Dulu di zaman SDSB,
orang mau jual sepeda dan dipaksa puasa seks oleh istrinya, demi bisa membeli
impian dan harapan. Kalau tak beli kupon SDSB, ia pasti tak punya harapan
apa-apa -- meskipun ia tak paham teori perekonomian struktural. Tapi dengan
membeli selembar kupon undian, langsung terkuak di depan matanya horison
impian yang bukan main indahnya.
Jadi kalau kita memiliki barang-barang,
simpanan uang, saham dan kekuasaan di mana-mana -- impian kita pun akan
melambung tak terkirakan.
Bagi kita yang tak kebagian
realitas konkret semacam itu sebagai bahan 'teknologis' untuk merekayasa
impian -- tetap bisa juga kita raih mimpi-mimpi melalui jalan lain. Klenik
sangat laris. Perguruan kebatinan menjamur di mana-mana. Gendheng Pamungkas
kita jadikan hero karena sanggup menyuguhkan halusinasi dan sensasi. Seorang
wanita juru penyehat kelelakian sangat laris karena setiap lelaki yang
mulai kehilangan kepercayaan dirinya bisa memperoleh panggung untuk 'GR',
dan dari situlah pasar rezeki sang penyembuh. Aliran-aliran thariqat
diminati tak hanya oleh orang-orang kecil yang jatah mimpinya sangat minimal,
tapi juga oleh para mantan penggede yang gagal memperoleh panggung lanjutan
buat impiannya.
Klenik dan tahayul juga kita
aplikasikan di berbagai modern stage yang seakan-akan merupakan
wilayah kebudayaan rasional dan sophisticated. Penyanyi yang dipanggil
Tuhan mendadak, kita pahlawankan tanpa parameter dan juntrungan kualifikasi
yang jelas atau rasional -- sementara orang besar macam apapun namun tak
terseret oleh mass culture dan man makes news, tak akan kita
ingat.
Seluruhnya itu, karena memang
bermuara pada 'ideologi' impian -- sesungguhnya merupakan cermin bahwa
titik berat situasi masyarakat kita dewasa ini terletak pada 'psikologisme'
atau 'psikisme'. Alias pada sehat dan tak sehatnya mental dan kejiwaan
kita semua. Segala macam yang gegap gempita melalui retorika demokrasi,
pembangunan, opposisionalisme dan lain sebagainya -- memiliki kadar utama
psikisme impian semacam itu. Puncaknya adalah bahwa kebanyakan kita tidak
menyadari dan dengan demikian juga pasti tidak mengakuinya.
Penyakit jiwa massal seperti
ini, kalau memakai istilah tasauf, sesungguhnya bisa dijelaskan melalui
acuan mengenai zuhud, bahwa manusia, rata-rata, tidak sanggup memperkembangkan
dirinya untuk menjadi lebih besar dibanding keduniaan. Manusia rata-rata
tak memiliki kewibawaan terhadap uang, pemilikan, kedudukan, dan kekuasaan.
Iming-iming Allah bahwa manusia itu ahsanu taqwim (sebaik-baik ciptaan)
diperhinakan sendiri oleh yang bersangkutan dengan sejarah kekalahannya
melawan barang-barang remeh seperti harta benda, kuasa, popularitas. Manusia
akhirnya benar-benar menjadi asfala safilin, serendah-rendahnya
makhluk, atau kita pelesetkan saja menjadi 'lebih rendah dari aspal'.
Sangat jarang manusia, di
strata manapun, yang menghuni wajah nothing to loose. Tak ada apa-apa
yang akan 'hilang' dari eksistensi kita. Kita ini sendiri tidak memiliki
dunia dan bahkan tidak pernah benar-benar memiliki diri kita sendiri. Salah
satu puncak kebodohan modernisme adalah 'GR' mereka bahwa manusia itu memiliki
dirinya sendiri. Nothing to loose, itu merupakan salah satu frekuensi
mental dari prinsip tauhid.
Dan itu semua tak akan berubah
meskipun setiap orang membantahnya, mendebatnya dengan argumentasi apapun,
karena setiap alibi akan dengan sendirinya mempertegas kadar 'psikisme'nya.
Kemudian jangan disangka bahwa
dengan tulisan ini saya mengritik siapa pun. Saya juga bukan menganggap
itu sesuatu yang perlu diberantas, sehingga saya menuliskan sesuatu untuk
menginvestasikan kemungkinan-kemungkinan perubahan pada satu dua orang.
Saya bukan seorang pengubah sejarah, dan saya sedikit tahu apa yang disebut
kebodohan untuk menyentuh-nyentuh wilayah kehidupan yang Allah merumuskannya
sebagai 'shummun bukmun 'umyun fahum la yarji'un'. Hanya Allah sendiri
yang memiliki kesanggupan untuk membatalkan matahari yang sedang memasuki
ufuk kegelapan pada senjakala suatu zaman -- atau untuk mempercepat berlangsungnya
malam sehingga pagi hari bisa segera diterbitkan bagi siapa pun saja yang
masih pantas untuk dimaafkan dan diselamatkan.
Sekali lagi saya bukan sedang
menjadi 'analis sosial' atau 'pejuang bangsa' yang ikut berpartisipasi
membangun manusia Indonesia seutuhnya melalui tulisan-tulisan. Saya melihat
semua ini dari suatu wilayah di kejauhan. Saya senang dan tersenyum. Kalau
berpapasan dengan siapa pun, saya juga dengan riang akan menambahi bahan-bahan
lamunan. Saya akan bilang dengan airmuka teateral bahwa tadi malam saya
bertemu dengan Bung Karno. Kami mengobrol, dan tatkala saya buka bajunya,
ternyata badannya masih sangat muda. Spontan saya katakan kepadanya --
''Mbok Sampeyan saja yang tampil lagi di panggung, asalkan Sampeyan sudah
belajar dari kesalahan-kesalahan prinsip Sampeyan dulu. Saya kemukakan
ini karena saya khawatir hujan yang akan turun akan cukup deras...''
Di tengah obrolan di keremangan
itu, tiba-tiba seorang wanita setengah baya melintas dan berteriak: ''Agustus,
Cak! Juga Nopember...''
Senang sekali saya bisa mendongengkan
impian kepada Anda sekalian.
|