Oleh Emha
Ainun Nadjib
Apa yang tersisa dari
suasana Idul Fitri pada diri Anda? Kenangan kebahagiaan bersama keluarga?
Capek dan absurdnya perjalanan mudik yang tahun ini benar-benar dahsyat?
Pada saya, yang terngiang-ngiang
selalu sehabis Lebaran adalah suara-suara takbiran masal. Baik di masjid
kita masing-masing, di jalanan, di teve, atau mungkin takbir dalam film
The Messenger yang disuarakan secara sangat sederhana.
Terus terang ada yang mengganjal
di hati dan otak saya beberapa tahun terakhir ini mengenai takbiran. Masyarakat
kita sangat kreatif. Cara melantunkan takbir terus mengalami 'modernisasi'.
Pencanggihan. Terutama melalui estetika musikalisasinya. Tetapi terus terang
juga hal itu malahan yang saya tidak bisa pahami sampai sekarang.
***
Saya senantiasa mengalami
konflik dengan dunia kesenian. Kalau jagat estetik bergerak ke sofistikasi,
maunya saya malah penyederhanaan. Kalau kosmos artistika berkembang ke
arah keanehan, maunya saya malah kewajaran.
Misalnya dalam seni tilawah
Quran yang semakin lama semakin canggih -- misalnya dari acuan Syekh
Abdul Basith bin Muhammad Abdus Shamad hingga Muammar ZA, saya
tetap saja konservatif dengan model lagu dan 'psikologi' qiroah tahun 60-an,
atau paling jauh mereferensi ke kebersahajaan Syekh Muhammad Al-Khusyairi.
Lha, estetika takbiran di
kalangan umat Islam Indonesia kini sudah tiba pada fase kothekan
atau bahkan semi-dangdutan. Memang masih belum sampai ke taraf metal
atau rap, tapi itu pun sudah sangat membingungkan perasaan maupun
pikiran saya.
***
Orang-orang, remaja-remaja,
anak-anak, berduyun-duyun jalan kaki atau naik truk atau colt-bak, melantunkan
takbir dengan tetabuhan. Ritmenya setengah kothekan di dusun-dusun
Jawa campur nuansa sedikit dangdut.
Intonansi takbirnya patuh
kepada hentakan irama yang diciptakan oleh musik tersebut.
Di situlah letak kebingungan
saya. Pernah bersama Dwiki Dharmawan saya rekaman takbir di mana komposer
ini saya minta membunyikan keyboardnya begitu suara saya masuk. Cukup pilih
nada tertentu untuk memberi background atau ditambah sedikit sapuan
atau cuatan halus.
Tapi sampai usai saya bertakbir,
Dwiki tak membunyikan apapun. Ketika saya tagih, ia menjawab, ''Tidak bisa,
Cak. Juga tidak berani''.
''Maksud Ente?'' tanya
saya.
''Sudah tak ada suara lagi
yang bisa dibarengkan dengan suara takbir,'' kira-kira begitu jawabannya.
Takbir tak perlu diiringi dengan bunyi musik apapun. Tak ada yang sanggup
menandinginya.
Dan saya setuju. Alhamdulillah
Dwiki tahu dan peka.
***
Mungkin saya seorang yang
fanatik. Tapi kalau umpamanya kaum musikolog dan autropolog dari segala
abad pada suatu saat mengadakan simposium, mungkin mereka juga akan setuju.
Bahwa segala prestasi musik
bergerak ke puncak kualitas budaya, sesudah itu memasuki 'langit' spiritualitas.
Dan kalau sudah sampai di situ, tanggallah segala instrumen pengiring.
Dalam konteks dan nuansa inilah saya pahami dan temukan tilawah Quran,
dan di atasnya lagi takbir.
Takbir adalah estetika tertinggi
dalam pengalaman saya.
Mungkin sekali saya subyektif.
Dan mungkin juga merupakan kesombongan kalau saya memperoleh kesan bahwa
kothekan-dangdutan takbir yang kini mentradisi -- itu mencerminkan
proses makin mendangkalnya kualitas batin kebudayaan masyarakat kita.
Takbiran semacam itu memelorotkan
ke'langit'an atau ke'akhir'an estetika takbir, padahal sehari-hari di teve
dan radio kita sudah selalu mendunia.
Sayang hanya Allah yang tahu
persis. Ilmuwan, seniman, agamawan -- tidak.
Apalagi saya.
|