Oleh Emha
Ainun Nadjib
Mestinya orang dari
ketiga parpol itu ngumpul di podium Padang Bulan. Yang PPP diwakili salah
seorang ketua DPW-Jatimnya, juga yang PDI. Yang Golkar datang jauh dari
Jakarta, yakni orang nomor satu dari DPD-DKI.
Tapi yang PDI mendadak tak
datang karena harus siang itu juga ke Jakarta. ''Katanya untuk menyiapkan
kongres. Kongres apa?'' tanya seorang jamaah.
''Lho kok tanya saya...,''
saya balik tanya, ''Mestinya saya yang tanya sama Sampeyan.'' Sudah
pasti saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kecuali karena saya bukan
Tuhan atau jin, saya juga bukan Mendagri, bukan Menpen, bukan Kasad atau
Kassospol ABRI. Saya juga tak ada kaitan apa-apa dengan tarik tambang dana
revolusi, dengan rencana transaksi di Kediri hari-hari itu. Soal Latif
dan Sutjipto pun saya tak tahu apa-apa, dan mungkin juga tak harus tahu
apa-apa dan tak wajib membantu apa-apa. Semua 'kan sudah besar-besar, sudah
bisa berjalan dan nyetir mobil sendiri. Wong saya tidak ikut bikin
persoalan, mosok harus ikut mikir bagaimana menyelesaikan persoalan.
Mereka hadir di Padang Bulan
juga bukan untuk menjadikan forum pengajian ini menjadi mimbar politik
atau ajang kampanye. Mereka duduk di kanan dan kiri saya untuk berdialog
langsung dengan jamaah, dengan satu dua perjanjian.
Misalnya, pertama, kita semua
ini sedulur di bawah kasih sayang Allah dan sebangsa. Kedua, PPP-Golkar-PDI
itu partner dalam pekerjaan demokratisasi. Sekali lagi partner. Saling
mendukung dalam konteks pengembangan demokrasi kerakyatan. Jadi ujung cakrawala
langkahnya adalah pencapaian demokrasi untuk kesejahteraan yang merata,
bukan egosentrisme salah satu pihak.
Dengan demikian, ini perjanjian
ketiga: kata pencermin identitas yang harus lebih utama digunakan bukan
'aku', 'dia', 'kami' atau 'mereka', melainkan 'kita'. Dengan posisi 'kita'
itulah kita berpikir, bertindak dan melangkah. Padang Bulan ini pengajian
kebangsaan.
Saya tahu itu agak over-romantik.
Oleh karena itu yang paling disediakan dalam forum itu adalah kerendahhatian
dan obyektivitas. Bahkan saya sendiri mambatasi hati saya dengan meyakinkan
diri bahwa tujuan saya dengan pertemuan mereka hanyalah ngajak guyon.
Hidup cuma sekali dan sangat singkat waktunya: maka banyak-banyaklah guyon,
tenteramkan batinmu, hati tak usah belingsatan dan berloncatan ke sana
kemari untuk pamrih-pamrih, target-target, ambisi-ambisi. Hatimu posisikan
pada duduk tahiyat saja dari dunia hingga akhirat.
***
Lumayan juga mereka bisa
guyon dengan sepuluhan ribu jamaah. Itu pendidikan politik yang baik bagi
semua pihak. Terutama bagi jamaah yang berasal dari segmen masyarakat yang
sangat ragam itu: dari kaum intelektual dan pengusaha kota sampai bapak-bapak
ibu-ibu anak-cucu dari desa-desa. Tema-tema muncul dari jamaah, misalnya
soal kenapa harus mayoritas tunggal. Semua dijawab dengan guyon, meskipun
isi pikirannya sungguh-sungguh.
Si Golkar yang selama menjadi
pejabat memang dikenal agak 'sableng' dan membuktikan sikap tak takut dipecat
-- bahkan mengritik saya yang menjawab pertanyaan jamaah tentang larinya
Edy Tansil. ''Bukan lari,'' katanya keras, ''tapi dilarikan!'' -- kemudian
ia menggambarkan secara detil bagaimana yang namanya rumah penjara, sistem
penjagaannya dan lain sebagainya yang ia jadikan dasar argumentasi untuk
menyimpulkan bahwa lari itu mustahil.
So, saya kalah progresif.
Mudah-mudahan pengalaman sekejap
itu bisa membuat pikiran dan batin mereka lebih sublim menjelang Pemilu
ini. Mereka bisa menjadi tidak terlalu Golkar-minded, PPP-minded
atau PDI-minded. Supaya, Golkar misalnya, tidak terlalu tripping
syik.. asyik asyiiik... dengan warna kuning, agar nanti tidak saya kasih
usulan untuk mengganti bendera nasional menjadi kuning saja. Kalau perlu
saya tambahi usulan agar pemerintah, birokrasi dan Golkar itu diresmikan
saja bahwa ketiganya itu sama. Dan biarlah rakyat Indonesia sampai masuk
kuburan tahunya ya bahan ketiganya itu sama.
Kemudian guyonan memuncak
ketiga si Golkar dari sakunya mengeluarkan tumpukan uang yang ia kasihkan
untuk perbaikan jalan di Desa Sebani -- yang sebulan sekali menjadi 'korban'
ribuan kendaraan jamaah Padang Bulan.
Jamaah Padang Bulan kebetulan
sering mengumpulkan dana dari kantung mereka untuk masjid atau rumah yatim
mana saja yang mengajukan permintaan dana. Padang Bulan sendiri tidak pernah
ngumpulin duit untuk Padang Bulan. Sungkan, Pekewuh. Atau karena
bodo.
Lha malam itu justru saya
yang mengajukan permintaan agar jamaah Padang Bulan ngumpulin dana untuk
teman-teman Kedungpring, Kedungombo. Yakni Mbah Jenggot dan teman-teman
penduduk yang sekarang bertahan hidup di bukit-bukit liar karena desa mereka
tenggelam di dasar waduk. Mbah Jenggot dan teman-teman sih tidak mau 'ngemis:
mereka mau mati di sana bareng-bareng asal dengan kelegaan bertahan pada
keyakinan mereka akan kebenaran yang mereka pilih.
Maka saya katakan kepada jamaah:
''Ini saya bukan minta Sampeyan untuk membantu mereka, melainkan menyampaikan
sebagian hak mereka untuk makan minum normal sebagai warganegara suatu
negeri yang kaya raya. Jadi kita ini membayar hutang kepada mereka....''
Si Golkar langsung merogoh
sakunya lagi, bahkan sejumlah anak buahnya ia perintahkan untuk mengambil
sejumlah uang dari sakunya masing-masing. Malam itu juga, usai pengajian,
rombongan dua mobil berisi utusan jamaah langsung berangkat ke Kedungombo
untuk menyampaikan amanat pembayaran hutang moral dan rasa malu sejarah
itu.
Lha, si PPP dari tadi bengong
menyaksikan 'demo' si Golkar nyah-nyoh kasih uang. Akhirnya ia mengambil
mike dan berkata: ''Saya tidak ingin rame-rame seperti ini, karena saya
takut tidak ikhlas. Jadi untuk soal sumbangan ini nanti saya akan urusan
langsung dengan Cak Nun sendiri saja....''
Si Golkar langsung menyahut,
''Yang dibutuhkan sekarang ini bukan keikhlasan, tapi uang!'' Si PPP nyampung
lagi, ''Mungkin ini semacam kampanye agar Sampeyan semua ini jatuh cinta
sama Golkar.''
Seorang jamaah nyelonong,
''Kalau ini kampanye, tidak efektif. Jalanan di desa-desa sekitar sini
masih buruk terus meskipun Golkar selalu menang. Mosok perbaikan
jalan di Jombang malah dirintis oleh Ketua Golkar DKI?''
''Yang nyumbang tadi bukan
Golkarnya, tapi orangnya!'' celetuk jamaah yang lain.
Suasana semakin penuh gelak
tawa, tapi diam-diam sesungguhnya bisa mengandung sekam. Saya coba mengaduk
suasana lagi supaya lebih cair: ''Kalau ini tadi kampanye, maka ia efektif
tidak hanya untuk Golkar, tapi juga untuk PPP dan PDI. Yang muncul di hati
Sampeyan kan bukan hanya kalimat 'pilihlah Golkar, supaya sumbangan semakin
mengalir,' tapi juga kalimat 'makanya sekarang pilihlah PPP atau PDI, supaya
sumbangan tidak hanya mengalir dari Golkar saja, tapi juga dari PPP dan
PDI....''
***
Sampai tengah malam gelak
tawa tak habis-habis. Sebagian jamaah bertanya-tanya apakah yang dilakukan
oleh si Golkar itu tidak takabur? Apakah si PPP itu memanfaatkan alasan
'tak mau takabur' untuk menghindarkan keterpojokan untuk menyumbang?
Coba saya kemukakan suatu
positive-thinking. ''Pak Golkar ini menganut tarikat yang karamahnya
atau kemuliaannya jahriyah alias gamblang dan terang-terangan. Lha,
Pak PPP ini menganut tarikat dan karamah sirriyah, alias yang samar
dan tersembunyi. Yang sirriyah ini untuk menjaga kerendahhatian dan kemurnian
amal. Yang jahriyah ini diperlukan karena kita semua ini butuh uswatun
hasanah, butuh keteladanan tentang segala perbuatan baik. Agar bisa
memberi teladan, Sampeyan jangan menyembunyikan perbuatan baik Sampeyan.
Di samping itu sering kita ini harus dididik untuk tahu diri. Kalau kita
tidak tahu bahwa seseorang itu berbuat baik, kita bisa terjatuh untuk salah
menilai dia, bahkan bisa terjerumus ke fitnah. Lha, Sampeyan semua ini
terserah saja mau menganut yang mana. Atau lihat-lihat momentum dan konteksnya.
Terkadang kita perlu jahriyah, terkadang perlu sirriyah, dan keduanya memiliki
kemashlahatannya sendiri-sendiri.
|