Oleh Emha
Ainun Nadjib
Larinya Eddy Tansil
sangat melukai rakyat Indonesia. Dan luka itu bisa sedikit berkurang apabila
Pemerintah menunjukkan sikap rendah hati dengan pernyataan resmi meminta
maaf kepada bangsa Indonesia. Kalau perlu, diulang-ulang agar bisa menjadi
semacam pendidikan politik yang memaparkan proporsi fungsi-fungsi, kewajiban
dan hak dalam organisasi negara.
Salah satu tanda kedewasaan
mental, kebesaran jiwa serta memadainya wawasan pada suatu pihak yang bersalah,
adalah seberapa jauh ia menunjukkan perasaan bersalah. Orang yang punya
komitmen terhadap kebenaran, akan dengan sendirinya bersikap blingsatan
jika ia melakukan kesalahan atau apalagi ketidakbenaran. Minimal ketidakbecusan.
Semakin parah blingsatannya, semakin tercermin kedalaman komitmennya terhadap
kebenaran.
Situasi blingsatan nasional
itu tak begitu terasa. Pak Oetojo Oesman sudah siap ditindak apapun oleh
Kepala Negara, tapi seberapa jauh ia menunjukkan rasa malu kepada rakyat?
Malahan khalayak ramai diimbau untuk bersama-sama mencari kemungkinan menangkap
kembali si buron itu. Bahkan terdengar juga semacam ancaman -- meskipun
yang mengancam kemungkinan besar tak merasa bahwa ia mengancam. ''Awas
kalau masyarakat menyembuyikan Edy Tansil!''.
Lho, pigimane sih.
Kalau soal membantu pemerintah, rakyat kebanyakan ini jangan pernah dikhawatirkan.
Sebagian mereka membantu dalam bentuk disengsarakan pun selama ini mau-mau
saja. Rakyat umum ini ndak ikut makmur, rangsum strukturalnya sangat
rendah, ndak ikut kenduri, minta supaya semua saja yang terlibat
dalam kasus Golden Key diadili tak terpenuhi kok malah direpoti diajak
nguber buron dan malah dianggap ada yang akan melindunginya.
Lha dulu siapa yang salah
sampai si Tansil bisa pinjam duit sak dabreg begitu itu -- hanya dengan
selembar surat sakti? Dimana yang namanya disiplin nasional ketika itu?
Politik perekonomian dan budaya politik macam apa yang memanjakan taipan-taipan
itu? Feodalisme pasal berapa dalam ilmu sosial yang bisa menjelaskan kenapa
''tamu-tamu sejarah'' malah mendapatkan kemudahan-kemudahan proyek yang
keterlaluan? Nepotisme dan modus operandi kolusi tingkat elite berdasar
ayat berapa dalam buku-buku mafia resmi yang memungkinkan sedulur-sedulur
sendiri malah sangat kecil peluangnya?
Apakah itu yang bernama nasionalisme?
Universalisme? Deprimordialisasi? Bahwa semua manusia itu sama derajat
dan haknya? Ya, semua manusia sama derajatnya, kulit apapun, kecuali ketika
mau pinjam duit di bank.
Dan kalau mereka-mereka yang
mengalami kekalahan struktural itu tiba di puncak kedlaifannya, lantas
dihina dengan akan disantuni melalui 2,5 persen penghasilan orang-orang
yang dimanjakan. Dan mereka semua bersyukur atas penghinaan itu, karena
saking laparnya dan saking kaburnya wawasan mengenai hak-hak struktural
mereka.
Jadi sesungguhnya Eddy Tanzil
bukanlah hanya ada sekadar Eddy Tanzil. Ia, sejak menyodorkan tangannya
untuk menerima surat sakti, sejak melangkahkan kakinya di pelataran bank
yang kemudian dipecundanginya, sampai ia kabur kini -- bukanlah sekadar
Eddy Tansil. Ia adalah simbol dari sejumlah kebobrokan managemen bangsa
dan negara kita ini.
Tidak penting apakah Eddy
benar-benar kabur karena memang berniat kabur.
Ataukah karena ia 'dikaburkan',
lantas direncanakan untuk 'dimusnahkan' meskipun kemudian luput. Yang manapun
skenario yang sesungguhnya sedang berlangsung -- wajah Eddy Tansil adalah
pantulan dari wajah kita sendiri.
''Bukan! Bukan wajah kita!''
mungkin Anda memprotes kalimat saya itu, ''Wajah saya tidak begitu. Saya
bekerja halal, kecil-kecilan, dan tak pernah berdekatan dengan kemudahan,
kecuali atas keajaiban kehendak Tuhan pada momentum-momentum tertentu.
Jumlah saya berpuluh-puluh juta, dan wajah saya tidak merupakan pantulan
dari wajah Eddy Tansil maupun siapa saja yang terlibat secara sistemik
dari skandalnya!'' Ya, saya paham. 'Kita' yang saya maksudkan bukanlah
semua kita bangsa Indonesia. Melainkan sebagian kecil dari kita, yang memegang
kendali-kendali utama rupiah, kekuasaan dan segala macam asset dan akses.
Saya sendiri adalah warganegara
yang sedemikian bodohnya dalam soal ekonomi. Ekonomi adalah memberikan
seribu lima ratus rupiah dan saya dikasih sebungkus rokok. Sampai di situlah
tingkat pengetahuan dan ilmu ekonomi saya.
Justru karena itu maka kalau
bisa kita jangan sampai pernah lupa bahwa Eddy Tansil bukanlah sekadar
Eddy Tansil. Di bidang yang sama dan yang melakukan hal sama dengan Eddy
Tansil, berapakah jumlahnya? Apakah mereka juga memperoleh keadilan sebagaimana
Eddy Tansil ditimpa keadilan, sehingga ia masuk penjara. Yang lain-lain
ditimpa ketidakadilan, sehingga tidak masuk penjara. Bagi mereka, ketidakadilan
lebih menyenangkan dibanding keadilan.
Kemudian di bidang bidang
lain, pada dataran yang berbeda-beda, seberapa ragamkah 'wajah Eddy Tansil'
di negeri ini? Sesungguhnya larinya Eddy Tansil hanyalah salah satu 'bunyi
instrumen musik' di tengah orkestrasi besar yang sedang berbunyi semakin
gemintang. Meningkatnya kriminalitas, membengkaknya perkelahian massal,
semakin maraknya demonstrasi-demonstrasi, robek-robeknya dinding nilai
yang selama ini terawat mungkin bermaksud ''litundziro qouman ma undziro
aabaa-uhum fa hum ghofilun...''. Untuk sekadar mengkelebatkan peringatan
bagi suatu 'kaum' sebagaimana dulu telah pula diperingatkan kepada 'kaum'
sebelumnya.
Tak tahu apa maunya Tuhan
sebenarnya, tapi ayat itu dilansir sesudah ayat yang menyebut kata ''Tansil''.
Tentu anda menganggap saya sedang melakukan otak atik gathuk: mempeleset-pelesetkan.
Sebagaimana ketika pernah mengungkapkan secara 'iseng' bahwa bukan tak
sengaja nama Adam Smith diizinkan oleh Tuhan untuk dipakai oleh seorang
bapak untuk menamai anaknya. Karena lahirnya kapitalisme sebenarnya sudah
terjadi jauh sebelumnya, dan tidak di dunia, melainkan di sorga. Yakni
ketika Adam, yang memperoleh fasilitas mutlak seluruh sorga kecuali 'pohon'
itu -- toh si Adam masih sedemikian rakusnya, sehingga didekatinya juga
pohon itu.
Manusia pertama ini memang
bapak kapitalisme. Entah berapa ratus perusahaan dan berapa dahsyat omset
ekonomi seandainya beliau hidup di zaman Orba di Indonesia. 'Pohon' tinggal
satupun akan diambilnya pula.
Maka peringatan Allah itu
mestinya berlaku menyeluruh. Ketika menatap wajah Eddy Tansil, imajinasi
dan kecerdasan kita harus mengembara ke jaringan-jaringan konteks dan sistem
yang melingkupnya -- meskipun kalau menulis Eddy Tansil, para wartawan
sudah tidak lagi serius dan sadar menyebut Sudomo, umpamanya.
Kebanyakan kita sekarang ini
memang sudah 'kewalahan' oleh gejala dan membanjirnya kenyataan-kenyataan
yang tak terjawab. Kalau di awal tulisan ini saya menyebut 'luka', sesungguhnya
kebanyakan rakyat juga sudah tidak merasakan luka itu, karena luka sehari-hari
mereka lebih langsung dan lebih riuh rendah.
Kita orang-orang kebanyakan
yang tidak memanggul tanggung-jawab primer atas organisasi sejarah -- karena
kita sudah menugasi soal itu kepada buruh-buruh kita, yakni pemerintah
-- kini tinggal pasif menunggu kehendak Tuhan, karena terlalu banyak soal-soal
yang kita tak mampu menangainya.
Tapi mereka-mereka yang memanggul
tugas-tugas utama itu, karena mereka digaji dan memperoleh sangat banyak
kemudahan dan kemewahan karena tugas-tugas itu -- kita doakan jangan sampai
tergolong dalam apa yang Allah sebut di ayat sesudah ayat 'Tansil' dan
ayat 'peringatan' di atas:
''Sudah gamblang kebenaran
itu sejak dulu, tapi mereka tak percaya''.
Rakyat kecil di pinggir-pinggir
jalan sudah omong sejak dulu. Kaum intelektual sudah memakalahkan kebenaran
sejak dulu. Kaum seniman dan pujangga sudah menuturkan 'haq' sejak dulu.
Para Ulama pastor, pendeta, bikhu, sudah menyanyikannya pula sejak lama.
Tapi mereka tak percaya.
''Maka aku pasang belenggu
di leher mereka, sehingga tangan mereka terangkat ke dagu dan kepala mereka
menengadah'' ''Kami taruh dinding di depan mereka, kami letakkan tembok
di belakang mereka, kami tutup mata mereka sehingga tak bisa melihat''
''Sama saja bagi mereka, engkau lantunkan peringatan atau tak kau lantunkan
peringatan, mereka tetap saja tak percaya.....''
|