Oleh Emha
Ainun Nadjib
Beberapa hari ini saya
asyik jalan dengan seorang teman yang belum lama keluar dari rumah penjara,
'berkat' (baca: barokah) suatu pengadilan politik yang mendekamkannya
di sel hukuman lebih dari yang dialami oleh seorang teman yang lain yang
bernama Arswendo Atmowiloto.
Kami mengobrol tentang apa
saja, dan sesekali memfokuskan pikiran pada gagasan kemungkinan tentang
apa yang sebaiknya ia kerjakan. Bukan sesuatu yang besar, bukan politik,
bukan perjuangan, atau apapun yang gagah dan luks. Juga bukan 'masa depan
dia'.
Sederhana saja: ia perlu memiliki
sejumlah hal agar tetap bisa memikul amanat Tuhan atas kehidupannya. Yang
dimaksud 'kehidupan'nya itu juga bukan yang muluk-muluk. Bukan, misalnya,
kreativitasnya, kemerdekaan intelektualnya, rehabilitasi kultural atas
eksistensinya, atau apapun.
'Kehidupan' di situ cukuplah
sepiring nasi dengan satu dua lauk pauk yang pantas, yang hendaknya tersedia
setiap kali ia tiba di ambang batas rasa lapar.
Teman saya itu bukan sedang
menderita. Dan saya juga tidak sedang mengasihani dirinya. Ini masalah
normal saja -- bahwa setiap manusia butuh survive, sebagaimana ayam, kambing
atau kupu-kupu. Ia sendiri bahkan bersedia menjadi, misalnya, makelar jualan
ayam atau apapun. Justru saya yang agak rewel: saya mengancam dunia ini!
Awas kalau sampai teman saya ini terpaksa menjadi pemulung, tukang becak,
atau apapun yang menghinakannya! ***
Saya bukan menganggap
rendah pemulung, tukang becak atau para pekerja kelas bawah yang kelak
sorganya bahkan mungkin lebih terjamin dibanding saya.
Saya sekadar berpikir tentang
keadilan. Tapi saya tandaskan kepada diri saya sendiri bahwa hendaknya
saya jangan sok pahlawan. Sejumlah kawan sudah berbuat baik kepada teman
ini jauh melebihi saya. Jadi kalau toh ada unsur kepahlawanan, itu sekadar
bahwa saya juga ingin berbuat baik kepadanya. Adapun teman saya ini sendiri
memang bukan saja tak butuh pahlawan, sebab bagi saya ia adalah justru
seorang pahlawan.
Anak ini dulu ditangkap, ditahan,
dan diadili oleh suatu paket skenario pengadilan politik. Santri kampung
Yogya ini rajin mempelajari kebenaran dan begitu bersemangat menemukan
nilai-nilai tentang apa yang terbaik yang bisa kita lakukan kepada rakyat,
namun akhirnya ia tiba di sel penjara.
Kekuasaan memerlukan simbol,
secara periodik, agar gampang menjelaskan kepada orang banyak yang mereka
kuasai bahwa ini boleh dan itu tak boleh.
Yang mustadl'afin sebenarnya
bukan hanya teman kita ini, atau sejumlah teman lain yang mengalami hal
yang sama. Yang juga tertindas adalah para petugas yang diwajibkan menjalankan
skenario itu. Bukan, bukan skenario -- lebih tepat kita sebut sinopsis.
Ada prinsip dasar mengenai 'lakon' pengadilan itu: para jaksa penuntut,
hakim dan lain-lain justru harus melacaki berbagai hal agar sinopsis itu
bisa dikembangkan menjadi suatu skenario yang jangan sampai terlalu tidak
masuk akal.
Salah seorang Jaksa menangis
kepada saya ketika interogasi, kemudian ikut ngaji Yasinan di rumah. Ia
bukan hanya tidak merasa gagah atau tidak bahagia: ia justru merasa sangat
berdosa. Akhirnya bahkan saya sendiri yang mengetik Berita Acara saya,
meskipun sayang sekali saya tidak bisa menuliskan pendapat yang mereka
kehendaki tentang teman saya itu.
Di antara sekian teman yang
menderita -- karena para petugas itupun adalah juga teman-teman saya sesama
manusia, sesama warganegara -- harus dipilih yang paling menderita. Sehingga
di meja saksi pengadilan, mau tak mau harus saya katakan: ''Kalau ini masalahnya,
yang mestinya diadili adalah saya dan Arief Budiman'', juga ''Kalau pikiran-pikiran
anak ini kiri, maka Alquran adalah sekiri-kirinya kiri...''
Dalam hati diam-diam saya meminta maaf kepada semua manusia, juga jin dan
siapapun, bahwa saya wajib mengemukakan hal itu. Ini bukan pengadilan dalam
arti yang sebenarnya. Ini bukan palagan nilai di mana seseorang yang bersalah
di hadapkan ke kaki Dewi Keadilan. Ini bukan forum argumentasi di mana
berbagai pihak, jaksa, hakim, terdakwa, saksi dan pembela -- berdebat dalam
suatu kesepakatan moral untuk sama-sama berjalan menuju yang paling benar,
paling baik dan paling adil.
Ini adalah episode sinetron
politik yang absurd di mana Petruk ditugasi oleh penguasa Amarta untuk
mengejar Bagong -- saudaranya sendiri -- memborgolnya, pura-pura mengadilinya
dan mencampakkannya ke dalam sel bui.
***
Kini Bagong sudah 'bebas
dengan catatan'. Beda dengan Gareng, yang juga masuk bui, namun memiliki
jaringan dan kecanggihan untuk mendapatkan cum politik, pekerjaan
dan nafkah yang jelas. Teman saya ini anak kampung yang lugu dan tak punya
akses ke mana-mana.
Tapi ia memang tidak menjadi
menderita karena itu. Ia lebih besar dari penderitaan. Bahkan kalau saya
menyebutnya pahlawan, penjelasannya adalah karena ia sanggup mengkristalkan
segala potensi dendam di dalam dadanya.
Ia seorang mukhlish,
pengiklas, yang luar biasa. Ia tetap bergurau dan mengasihi satu dua temannya
yang dulu memberatkannya dalam kesaksiannya di pengadilan. Ia hadir kembali
ke tengah pergaulan kami seakan-akan ia sekadar baru kembali dari rumah
sakit.
Ia bahkan juga tidak dendam
kepada Indonesia, kepada 'negara' dan pemerintah yang 'membunuh' beribu
kemungkinan dan cakrawala hari depannya.
Ia tidak dendam kepada para
pengendali tatanan yang bukan hanya tak menghargai harkatnya sebagai manusia,
tapi juga memanipulasikan kasunyatan-kasunyatan dirinya yang dianugerahkan
oleh Allah -- Maha Dzat yang namaNya bahkan selalu dipakai sebagai faktor
utama setiap pengatas-namaan politik.
Allah telah secara sangat
ajaib menata karamah, kemuliaan -- di dalam jiwanya. Ingin saya
mengusulkan agar ia memakai juga nama Abdul Karim, karena nama aslinya
tetap akan dianggap cacat politik -- yang pada suatu saat bisa saja membuatnya
dicurigai oleh Pak RT ketika mendaftarkan diri turut pertandingan catur
17 Agustusan.
Ia naik biskota yang pengap.
Ia makan di Warteg dengan lahap. Ia nonton teve yang gemerlap. Kemudian
mendadak ia tertawa: ''Elma Theana itu rejekinya langsung melonjak... hanya
dari satu iklan, langsung melejit, ya jadi penyanyi, ya sinetron, ya model...''
Tertawanya tulus. Polos. Dan
kami meledeknya: ''Kamu mestinya protes kepada teve!'' ''Kenapa'', ia bertanya.
''Dulu waktu vonnis, teve
mengkovermu, tapi kamera hanya mengambil punggungmu...''
Teman kami ini, yang santri
rajin shalat, yang penulis dan pemikir kesejahteraan rakyat -- memang jauh
kalah penting dibanding Elma Theana atau artis-artis lain siapapun yang
merupakan asset utama negeri dan bangsa ini.
|