Oleh Emha
Ainun Nadjib
Mungkin saya sedang
berlatih agar menjadi seperti Batara Guru, tapi hasilnya -- kalau beruntung
-- paling jauh menjadi kayak Semar. Dan kemungkinan terdekatnya justru
puncak prestasi batin dan mental saya hanyalah menjadi seperti Togog.
Tentu saja mereka bertiga
ini tak pernah ada dalam sejarah nyata, kecuali sebagai alat bercermin
bagi manusia, ya kita kita smua ini, di zaman apapun. Tiga bersaudara ini
hidup dalam peta mitologi, dan tradisi mitos itu bukan barang kuno, bukan
milik nenek moyang saja, melainkan milik dan kesayangan sehari-hari kita
sampai sekarang. Misalnya, mobil yang segala sesuatunya dibikin di Korea,
kita mitoskan sebagai mobil produksi nasional. Mitos ultra modern yang
kita hidupkan dan kita hidupi di dalam diri kita dengan penuh ketenteraman,
tanpa konflik logika, tanpa rasa malu mental dan tanpa kegelisahan batin.
Yang namanya mitos juga tidak
selalu 'haram'. Istri Anda masing-masing harus Anda mitoskan sebagai wanita
terbaik dibanding Dewi Harumwangi dari langit sap tujuh sekalipun. Bahkan
nasionalisme yang senantiasa kita agung-agungkan itu sesungguhnya juga
harus kita tulang-belulangi dengan berbagai mitologisasi yang melanggar
obyektivitas dan akal sehat.
Ndak apa-apa. Soal mobil nasional,
istri tercantik atau nasionalisme itu, tak apa-apa kita jaga mitosnya.
Salah satu keistimewaan manusia di muka bumi ini adalah hobinya untuk mendustai
dirinya sendiri. Bahan hobi juga didustai oleh orang lain. Orang membayar
pertunjukan David Copperfield untuk didustai, orang begadang nonton Euro'96
juga untuk meyakini bahwa bergulirnya bola ke dalam gawang itu sama penting
dan dramatiknya dengan ketika malaikat Jibril turun membawa wahyu dari
Tuhan kepada seorang Nabi.
Bahkan ketika salat pun bisa
jadi kekhusyukan kita tak sebanding dengan tingkat intensitas tatkala nonton
bola.
Bahkan tingkat tinggi estetika
musik dan visualisasi iklan-iklan di layar teve itu diciptakan dengan kadar
kekhusyukan sebagaimana seorang sufi menari-nari berdzikir karena kangen
kepada Allah kekasihnya, sebagaimana seorang pemuda melamar gadis pujaannya.
Musik-musik iklan itu sangat cocok dan memiliki bobot estetik untuk juga
dipakai menggambarkan bagaimana Tenth Commandments turun kepada
Nabi Musa.
Kenapa saya berpendapat begitu?
Ya itu tadi, saya coba jadi Batara guru.
Tiga bersaudara cucu Sang
Hyang Wenang ini bertanding menelan bumi. Mulut Togog sobek. Semar sanggup
menelan, tapi macet di perutnya. Batara Guru yang sukses, bumi ditelannya
dan dimuntahkannya kembali melalui duburnya, sehingga badannya tetap langsing,
atletis, wajahnya muda terus, meskipun ia tua abadi, kepribadiannya sepuh
sampai akhirat.
Menelan bumi itu artinya sanggup
mempertahankan ketenangan dan kejernihan dalam menghadapi berbagai kekisruhan
hidup. Iman tetap suci, hati tetap 'duduk tahiyat', pikiran tetap istiqamah
dan obyektif, idealisme tetap memperdengarkan iqamat (''haya 'alas shalah
hayya 'alal falah'', mari tegakkan sembahyang, mari memperjuangkan
kemenangan), jiwa tetap muthmainnah, tenteram, meskipun seandainya
kekuasaan kita dikudeta di Medan.
Dan sekarang ini zaman sedang
kisruh-kisruhnya. Pantas gang ABG yang paling awet di Yogya bernama QZruh.
Menjadi Guru-Semar-Togog itu bisa berarti (kata kerja) islam, artinya
menegakkan yang benar meskipun ongkosnya mati dan kehancuran di dunia,
sementara kepada Allah pasrah total. Dan pasrah total kepada Allah itu
bisa berarti patuh ketika diperintahkan untuk berkelahi.
Bisa pula berarti sumeleh.
Melumah. Berbaring menelentang. Menjadi saudara yang sanggup menampung
apa saja tanpa terpengaruh. Menjadi tikar yang di atasnya orang bertarung
dan biyayakan, sementara si tikar itu sendiri tak terluka.
Tapi bisa juga berarti apatis.
Apriori. Weleh. Mengambil sikap pasrah pada dataran yang paling
fatal. Pasrah dalam arti tak lagi mempertahankan posisi manusia sebagai
subyek pengubah dunia. Menelan bumi dalam arti seperti ini merupakan tindakan
makar kepada Allah yang mentitahkan manusia agar menjadi khalifah,
menjadi manajer keberlangsungan hidup.
Batara Guru yang dalam kuliah
kerja nyata menelan bumi berhasil lulus summa cum laude, akhirnya
diposisikan di kursi eksekutif pemerintahan alam semesta raya. Semar dan
Togog menjadi parlemen dan kongres, menjadi pengontrol dan perawat piweling
atau indzar.
Di negeri kita salah satu
kekacauannya berupa pelesetan sistem di mana eksekutif itu berarti basah,
lantas Semar dan Togognya juga tergoda untuk ikut dibasahi. Dengan demikian
dinamika utama yang terjadi bukan tegangan idealistik dan realistik sekaligus
antara Guru, Semar dan Togog, melainkan kolusi-kolusi global dan otomatis
soal kebasahan itu.
Semar dan Togog kita juga
tidak sakti mandraguna seperti dalam mitologi.
Jadi tak ada lagi lakon carangan
(alternatif) misalnya Semar Mbangun Kahyangan. Tak ada lagi Semar
naik pitam karena kezaliman Batara Guru lantas naik ke kahyangan dan melabrak
adiknya itu. Tak ada lagi Bagong mengejar-ngejar Batara Guru sampai bersembunyi
di dalam jumbleng (tempat buang air besar). Yang ada adalah 'Semar
Mendem', Semar teler dan triping oleh sogokan batangan emas dan
deposito.
Lha kita-kita, yang bukan
Togog, bukan Semar dan apalagi Guru, sekarang mau tak mau harus menjalankan
satu-satunya pilihan di dunia. Apa? Bukan sekadar menelan bumi, mencucup
kegetiran, mereguk kepahitan, meminum kesengsaraan, memakan duri dan batu.
Pilihan yang harus kita ambil sekarang adalah menciptakan mitologi subyektif
untuk menelan bumi, sekaligus menelan Batara Guru, Kyai Semar dan Ki Togog
di dalam hati kita yang penuh kudis.
Kita berjuang agar tidak menjadi
apatis, namun tegaknya perjuangan juga sangat sukar ditemukan formatnya.
Persoalan terlalu banyak dan gawang lapangan kebenaran kita sudah digunduli
oleh gol-gol kekalahan tanpa balas. Kalau ada impor mobil nasional, kita
cari-carikan reasoning dari tasauf, taktis-politis dan antropologis.
Yang tasauf begini: mobil
nasional itu sengaja kita bikin di Korea supaya orang memaki-maki kita,
supaya orang menyangka bahwa kita curang dan memeledingkan pantat
di depan wajah dan akal pikiran mereka. Semakin tinggi sangkaan orang,
semakin besar fitnah orang, semakin meningkat pula karamah kita.
Sama dengan ketika bulan Ramadhan kita muncul di depan orang banyak sambil
makan kacang seasyik-asyiknya. Tujuannya supaya orang yakin bahwa kita
tidak berpuasa. Soalnya kalau orang tahu kita puasa, kita bisa takabur.
Yang taktis-politis, kita
memang sengaja mengacaukan peta logika perdagangan dan otoritas politik
perekonomian. Dengan demikian di masa-masa mendatang kita bisa menciptakan
pintu-pintu apa saja yang tidak harus memenuhi akal sehat dan rasionalitas
orang hidup. Adapun yang antropologis, biarkan saja orang tidak tahu bahwa
sesungguhnya bangsa Korea, termasuk yang mengerjakan mobil nasional kita,
sesungguhnya adalah salah satu rumpun bangsa keturunan Raja Kutai di Kalimantan
dahulu kala.
Jadi mereka itu ya kita-kita
juga.
Pokoknya kita telanlah mobil
nasional itu. Apapun juga sedang saya coba telan, dengan catatan jangan
sampai menjadi apatis.
DI TIM Jakarta dan di Festival
Seni Yogya saya nonton pertunjukan teater dengan hati merdeka karena saya
sudah bisa meyakinkan diri saya bahwa saya bukan seniman, bahwa saya manusia
biasa-biasa saja, dan yang saya tonton itu adalah sahabat-sahabat di muka
bumi -- tak penting apakah mereka seniman atau bukan. Kalau pertunjukannya
jelek, hati saya tetap tenteram karena saya bisiki: ''Tak ada kewajiban
dari Tuhan bahwa manusia itu harus berprestasi tinggi, harus bikin kesenian
bagus, menang sepakbola, atau apapun yang mewah-mewah. Manusia berhak untuk
tidak bermutu, tidak hebat.
Bahkan manusia berhak untuk
lemah, gampang disuruh menyeberang dalam berpolitik, gampang disogok, gampang
diiming-imingi jabatan wakil ketua MPR misalnya....''
Orang-orang PDI sekarang ini
juga berhak untuk sukses dipecah belah.
Mereka berhak untuk meneguhkan
polarisasi internal, yang satu ''berpikir Mega'' lainnya berpikir ''non-Mega''
dan hampir tak seorang pun ''berpikir PDI''.
Saya menggeramangkan puisi
Chairil Anwar untuk Megawati: ''Bukan kudeta benar menusuk kalbu, keridlaanmu
menerima segala tiba. Tak kutahu setinggi itu atas debu, dan duka maha
Tuan bertahta....''
Yang saya tidak mengerti adalah
kenapa untuk berperang seseorang harus hadir. Kenapa untuk menang seseorang
harus datang. Kenapa untuk menegakkan kekuatannya seseorang harus ada.
Kenapa tak memilih tak ada, kalau tak ada bisa justru menjadi 'ada' yang
lebih kuat. Kenapa tak minggir dari lapangan, kalau di tengah lapangan
ia dikeroyok oleh teman setimnya sendiri, oleh kesebelasan lawan, oleh
wasit, oleh hakim garis.
Kenapa ia tak minggir dari
lapangan, diikuti oleh berjuta-juta lainnya.
Minggir dan absen dari persaingan
suara itu. Jangan disangka tidak ada adalah tidak ada....
|